Dalam politik Indonesia, hukum dan aturan sering kali bukan pagar baja, melainkan pagar bambu: lentur, bisa digeser, bahkan dibongkar jika kepentingan elite mendesak. Dari Megawati, SBY, hingga Gibran, sejarah kita berulang:aturan diubah.
Megawati dan Syarat Pendidikan
Awal 2000-an, ketika aturan Pilpres langsung pertama kali dirumuskan, muncul wacana calon presiden harus minimal sarjana. Alasannya sederhana: presiden adalah jabatan strategis, semestinya dipegang orang dengan kapasitas akademis tinggi.
Tapi PDIP menolak. Megawati Soekarnoputri, yang saat itu hanya lulusan SMA, otomatis gugur jika aturan sarjana diberlakukan. Maka syarat pendidikan akhirnya diturunkan: cukup lulusan SMA atau sederajat. Aturan yang lentur ini memastikan jalan Megawati tetap terbuka.
SBY dan Sistem Proporsional Terbuka
Lima tahun kemudian, jelang Pemilu 2009, giliran Susilo Bambang Yudhoyono yang diuntungkan.
Sebelumnya, Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional tertutup: rakyat memilih partai, kursi DPR dibagi sesuai nomor urut caleg yang disusun partai. Dukungan presiden sangat tergantung pada elite partai.
Namun pada Desember 2008, hanya beberapa bulan sebelum pemilu, Mahkamah Konstitusi memutuskan sistem harus proporsional terbuka. Kursi diberikan kepada caleg dengan suara terbanyak, bukan sekadar nomor urut.
Perubahan mendadak ini sangat menguntungkan Demokrat. Partai Demokrat tidak sekuat PDIP. Padahal presiden perlu dukungan kuat parlemen. Popularitas SBY yang tinggi ikut mengerek suara caleg Demokrat. Hasilnya, Demokrat menang besar di parlemen karena perubahan sistem itu dan SBY melenggang kembali ke kursi presiden dengan dukungan DPR yang solid.
Gibran, MK, dan Batas Usia
Dua dekade setelah Megawati, dan satu dekade lebih pasca-SBY, ada perubahan aturan lagi.
Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo sekaligus putra Presiden Jokowi, terlalu muda untuk maju: usianya baru 36 tahun, sementara UU Pemilu menetapkan batas minimal 40 tahun.
Lalu seorang mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru Re A, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inilah jalurnya: setiap warga negara bisa menguji apakah pasal dalam undang-undang sesuai dengan UUD 1945. Jika MK menilai pasal itu bertentangan dengan konstitusi, MK bisa mengubah atau menambahkan tafsir baru.
MK kemudian mengetuk palu: calon presiden/wapres di bawah usia 40 tahun boleh maju jika pernah menjabat kepala daerah. Putusan ini bersifat final dan mengikat.
Gibran bisa maju sebagai cawapres. Tetapi hasil pemilu tetap di tangan rakyat pemilih. Beberapa orang capres konon tertarik menggandeng Gibran sebagai cawapres, termasuk Ganjar. Tapi Gibran memilih Prabowo.
Dari ketiga perubahan aturan itu, mengapa yang gaungnya paling besar hanya yang terakhir? Kenapa aturan untuk Mega dan SBY dianggap wajar?
Komentar
Posting Komentar