Filsafat, sudah Mati atau Belum?

 

Saya pernah mengikuti kuliah seorang profesor filsafat menjabarkan Mekanika Kuantum. Tentu saja dia gak salto pakai macam-macam pengandaian, atau metafora. Apalagi pakai metafisika. Uraiannya sangat tajam, dan fokus. Bedanya dg saintis, semisal Einstein menelaah mekanika kuantum sebagai permainan dadu, beliau menguraikan konsistensi dan premis-premis mekanika kuantum tanpa takut bahwa pemikirannya gak sejalan dengan alur analisa-sintesa yg empiris formal.


Poinnya, filsafat masih hidup. Tapi bukan filsafat yg mengawang-awang spt prasangka kaum dogmatik anti sains


Kemarin saya mampir ke wall Afthonul Afif, menanggapi tulisan dia tentang pandangan Ryu Hasan soal berbagai hal. Saya tanggapi 3 poin. Pertama soal filsafat dan sains. Kedua, soal kesadaran. Ketiga, soal peran filsafat dalam menjawab berbagai pertanyaan yang katanya tidak bisa dijawab oleh sains. 


Tadi saya baca tanggapan baliknya, yang sangat panjaaaaaaaaaang. Intinya menurut dia, filsafat masih dibutuhkan. 


Kemarin saya mengutip pandangan Hawkings yang meledek bahwa peran filusuf dalam pengembangan sains modern tinggal tersisa pada analisis bahasa, karena sains sudah terlalu teknis. Pertanyaannya, apakah filsafat sudah mati? 


Jawaban pendeknya, tentu tidak. Afif keliru kalau mengira saya menganggap filsafat sudah mati. Sains itu tegak di atas metode yang awalnya dibangun oleh filsafat. Sains sudah mapan, bukan berarti filsafatnya bisa dibuang. Segala sesuatu yang dulu dirumuskan melalui filsafat tetap dipakai hingga sekarang. Saya tidak setuju pada pandangan yang menganggap filsafat sudah mati. 


Lha, saya sendiri berfilsafat. Definisinya, berfilsafat adalah kegiatan berpikir secara mendalam, sistematis, dan kritis tentang hakikat realitas, pengetahuan, kebenaran, nilai, eksistensi, dan makna hidup. Berfilsafat bukan sekadar mencari jawaban, tetapi juga mempertanyakan asumsi, membedakan antara opini dan argumen, serta mencari dasar rasional dari keyakinan atau pandangan kita. 


Kemarin saya demonstrasikan melalui “dialog” saya dengan Chat GPT, bahwa ternyata cara berpikir saya sejalan dengan pandangan sejumlah filusuf besar di masa lalu. Cuma, saya memang tidak biasa mengutip pandangan para filusuf itu. Wong saya memang tidak merujuk ke mereka.


Berfilsafat bagi saya adalah kegiatan berpikir mandiri.


Lebih spesifik lagi, empirisme dan positivisme itu adalah filsafat yang menjadi dasar pengembangan sains. Seperti saya tulis tadi, ia sudah menyatu dengan sains. Dalam pelaksanaan riset, desain engineering, problem solving, dan sebagainya, filsafat tetap hidup, menjadi tulang punggung sains. 


Jadi, sekali lagi keliru kalau dikatakan bahwa saya menganggap filsafat sudah mati. Setiap hari dan setiap saat saya berfilsafat.


Nah, ini titik pentingnya. Sesuai definisinya, berfilsafat itu adalah kegiatan berpikir tadi. Bukan kegiatan mengutip para filusuf. Juga tidak harus diproklamasikan secara ndakik-ndakik. Berfilsafat itu bukan kegiatan eksklusif. Tidak perlu menunggu atau menjadi seorang yang dijuluki ahli filsafat untuk berfilsafat.


Dalam konteks inilah ledekan Hawkings tadi jadi relevan. Kalau urusannya filsafat sains, seperti yang panjang lebar dibahas Afthonul tadi, itu sudah secara mandiri dilakukan oleh ilmuwan. Pertanyannya, para filusuf ngapain? 


Poin penting lainnya, desakralisasi filsafat. Sejarah sains menunjukkan bahwa par filusuf dulu banyak juga yang keliru. Ngawur kalau dilihat dari kaca mata sains modern. 


Artinya, tidak perlu takut untuk mengatakan “ngawur” kalau ada pandangan filusuf masa lalu maupun masa kini yang keliru. Bahkan pandangan sains yang berbasis bukti-bukti empiris pun dikoreksi. Apalagi pandangaan filsafat. 


Jadi, tidak perlu menempatkan filsafat itu tinggi-tinggi. Biasa saja. Wong itu cuma pikiran manusia, kok. Jangan dianggap suci. 


Terakhir, tidak perlu mengerdilkan hal-hal yang sudah dirumuskan sains dengan alasan sains punya keterbatasan. Seolah filsafat itu lebih canggih. Nggak, bro. Sebagaimana sains, filsafat pun produk otak manusia. Ia tidak lebih tinggi atau lebih luas jangkauannya daripada sains.


Pangkal kritik terhadap Ryu Hasan adalah katanya pandangannya mereduksi manusia yang kompleks melalui pandangan sains. Keberatannya, mbok pakai filsafat juga, biar tidak reduksionis begitu.


Itu bukan reduksi. Kalau bicara sains memang begitu. Itu terus menerus ditekankan Ryu Hasan. Ia memisahkan sains dengan bukan sains. Misalnya dikatakan sains tidak ngurus moralitas. Emang iya. Sains juga tidak peduli pada iman orang. Itu juga iya. 


Iman sebagai proses mental manusia dijabarkan sebagai produk kerja otak. Itu tidak salah. Memang begitu. Demikian pula konten iman, dijabarkan sebagai produk struktur otak manusia, juga hasil interaksi otak dengan sesama manusia, alam lingkungan. Bahkan juga produk kekacauan dalam otak manusia.


Itu semua adalah fakta sains yang memang demikian adanya. Kalau bertentangan dengan konsep filsafat yang ndakik-ndakik, jangan baper. Seperti saya tulis di atas, filsafat pun boleh dikoreksi, karena sudah terbukti pernah dan sering salah.

Komentar