Ilmuwan modern sepakat bahwa kesadaran itu adalah produk aktivitas otak. Saya kebetulan jadi penerjemah buku berjudul MIND, ditulis oleh Todd Kashdan dan Patricia Daniels. Di buku itu ada pernyataan ringkas berbunyi "mind is the brain in action". Ada banyak fenomena manusia, baik kesadaran maupun perilaku yang pada akhirnya memang harus dijelaskan dari aktivitas otak. Tidak ada pendekatan lain yang bisa menjelaskan.
Misalnya, kenapa seseorang lapar dan ingin makan? Itu mekanismenya bisa dijelaskan melalui mekanisme kerja otak. Bahwa makan itu nanti terpengaruh oleh konteks sosial, seperti yang Anda bahas, itu benar. Tapi perhatikan bahwa konteks sosial itu pun lagi-lagi merupakan produk hasil kerja otak. Dalam buku MIND tadi dijelaskan bagaimana interaksi manusia dengan manusia lain, juga dengan lingkungan non-manusia. Bagaimana persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya, semua hasil produk otak semata.
Ringkasnya, mind (pikiran, emosi, persepsi, dll) pada manusia itu adalah produk otak. Hal-hal lain yang didefinisikan oleh para ilmuwan sosial, juga filusuf, adalah soal penampilan atau appearance aktivitas otak tadi.
Pembahasan seperti itu bukan reduksi. Kenyataan sainsnya memang begitu. Bahwa kenyataan sains itu didiskusikan secara kompleks melalui ilmu sosial ya boleh saja. Tapi apapun yang dibahas itu, semua produk aktivitas otak belaka.
Kutipan:
"Neurosains telah memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan mekanisme otak dan perilaku manusia, namun ia tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang makna, nilai, dan tujuan hidup. Pertanyaan seperti “apa arti penderitaan?”, “mengapa kita mencintai?”, atau “apa yang membuat hidup layak dijalani?” tidak dapat dijawab hanya dengan memetakan aktivitas neuron atau menjelaskan fungsi adaptif dari emosi."
Betul. Neurosains tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi perhatikan bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa apa saja. Bebas. Tidak bisa diukur jawaban itu valid atau tidak.
Bisakah kita mengoreksi secara valid pernyataan Steven Weinberg bahwa "alam semesta ini pointless"? Pernyataan itu bisa dianggap benar, bisa pula dianggap salah. Alat ukur objektifnya apa? Tidak ada. Yang dipakai adalah perasaan, keyakinan, iman, dan sebagainya.
Dalam konteks itulah orang seperti RH menilai bahwa filsafat (yang ngakunya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi), ya cuma sekadar awur-awuran saja.
Komentar
Posting Komentar