Tahun itu adalah 680 Masehi, atau 61 Hijriyah. Dunia Islam tengah berada dalam masa transisi penuh gejolak setelah wafatnya Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah. Putranya, Yazid bin Muawiyah, naik takhta sebagai khalifah dengan cara pewarisan turun-temurun — sesuatu yang dianggap asing dan bertentangan dengan semangat musyawarah dalam khilafah sebelumnya.
Penolakan terhadap Yazid kacrut meluas, terutama karena reputasi buruknya. Banyak catatan menyebutkan bahwa Yazid dikenal sebagai pemabuk, penggila hiburan dan musik, serta laki-laki yang tenggelam dalam kesenangan duniawi, termasuk pergaulan bebas dan wanita. Para penulis sejarah Islam klasik seperti al-Tabari, al-Mas‘udi, dan Ibn Kathir, meskipun dari tradisi Sunni, menyinggung kebiasaan-kebiasaan Yazid yang tidak mencerminkan perilaku seorang pemimpin muslim yang adil dan saleh.
Salah satu yang menolak berbaiat kepada Yazid adalah cucu Nabi Muhammad ﷺ sendiri, Hussein bin Ali, putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Ia menilai bahwa Islam tidak pantas dipimpin oleh orang seperti Yazid yang merusak kehormatan kekhalifahan.
Setelah menghadapi tekanan di Madinah, Hussein pergi ke Mekkah. Di sana, ia menerima ratusan surat dari penduduk Kufah yang menyatakan kesetiaan dan mengajaknya datang ke sana untuk memimpin perlawanan terhadap rezim Yazid. Meski banyak peringatan bahwa ini mungkin perangkap, Hussein percaya bahwa ia harus menanggapi panggilan umat untuk menegakkan keadilan.
Ia mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, ke Kufah sebagai utusan. Awalnya Muslim disambut meriah, tetapi ketika gubernur Kufah yang baru, Ubaidillah bin Ziyad, dikirim oleh Yazid, situasi berubah drastis. Pendukung Hussein ditangkap dan Muslim pun dibunuh secara brutal.
Hussein, belum mengetahui kabar ini, bersama keluarganya dan sekitar 70-100 orang pengikutnya, melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Di tengah perjalanan, pasukan Umayyah menghadang mereka dan memaksa rombongan Hussein berhenti di padang tandus bernama Karbala.
Mereka tiba di Karbala pada 2 Muharram. Selama beberapa hari, pasukan Umayyah mengepung mereka dan memutus akses ke air dari Sungai Eufrat. Kehausan melanda kemah Hussein, termasuk anak-anak dan bayi-bayi kecil. Seolah semua doa dan malaikat tak ada yang bisa membantu.
Pada 10 Muharram, hari yang kelak dikenal sebagai Asyura, pasukan besar Umayyah — sekitar 4.000 tentara — menyerang rombongan kecil Hussein. Hussein sempat menawarkan tiga opsi damai: kembali ke Madinah, pergi ke perbatasan, atau bertemu langsung dengan Yazid. Tapi Ibn Ziyad menolak. Perintahnya tegas: Hussein harus menyerah tanpa syarat — atau dibunuh.
Pertempuran pun pecah. Satu per satu pengikut Hussein gugur, termasuk saudara, keponakan, dan bahkan dua putranya. Ali Akbar, putra remajanya, gugur dalam pertempuran. Bayi laki-lakinya, Ali Asghar, dibunuh oleh panah saat Hussein mengangkatnya untuk memohon air. Darah dan air mata membasahi padang Karbala.
Akhirnya, tinggal Hussein yang tersisa. Tubuhnya sudah penuh luka, tapi ia tetap berdiri dengan gagah. Ia dikepung, dijatuhkan dari kudanya, dan akhirnya dipenggal kepalanya oleh Shimr bin Dzi al-Jawshan. Kepalanya dibawa ke Kufah lalu ke Damaskus untuk diperlihatkan kepada Yazid — pemimpin yang pada saat itu, menurut berbagai sumber, sedang berpesta di istananya. Dimana yang namanya Tuhan saat itu?
Komentar
Posting Komentar