COCOKOLOGI: PENYELAMAT AGAMA PENYELAMAT

 Agama sering mengklaim dirinya sebagai sesuatu yang sempurna. Tapi justru karena klaim ini, muncul banyak persoalan.


Sesuatu yang sudah sempurna, artinya sudah final. Nggak perlu ditambah, dikurang, atau diubah lagi.


Masalahnya, dunia terus berubah. Sesuatu yang dulunya cocok, bisa jadi nggak relevan lagi di masa depan karena kondisi udah beda jauh.


Agama pun begitu. Ambil contoh Islam—lahir di Arab abad ke-7. Waktu itu, Islam sangat pas dengan situasi dan budaya di sana. Tapi setelah menyebar ke luar Arab dan melewati zaman yang panjang, banyak hal berubah. 


Pertanyaannya: apakah ajaran yang cocok di Arab abad ke-7 masih cocok buat dunia sekarang?



Tapi kan katanya Islam itu sempurna? Cocok untuk semua zaman dan semua tempat?


Supaya tetap terasa relevan, Islam akhirnya “dimaknai ulang” biar bisa nyambung dengan situasi sekarang.


Tapi kalau dimaknai ulang, bukankah itu artinya Islam dimodifikasi? Bukankah itu bertentangan dengan klaim kesempurnaannya?


Oh, tenang, kata para ulama, itu bukan modifikasi. Itu namanya ijtihad—menggali lebih dalam kandungan Islam supaya terangkat kesempurnaannya.


Padahal kenyataannya, dari hasil ijtihad itu muncul hukum-hukum baru yang sebelumnya nggak ada. Bahkan ada juga hukum lama yang ditinggalkan. Contohnya? Zakat profesi, zakat pertanian modern—itu semua hasil ijtihad. Dulu perbudakan biasa aja, sekarang haram. Semuanya bentuk cocokologi dalam hukum.


Ketika dunia ribut soal kapitalisme vs sosialisme, sebagian umat Islam merasa jadi penonton. Nggak mau cuma nonton, ada yang bilang: “Lho, keadilan sosial juga ada kok di Islam!” Akhirnya lahirlah gerakan Islam berbau sosialisme, kayak Sarekat Islam, yang akhirnya bertransformasi jadi Partai Komunis Indonesia. Ini cocokologi dalam politik.


Saat sains jadi tren dan semua orang kagum pada kemajuan ilmu pengetahuan, muncul tokoh kayak Harun Yahya. Dia ngotot menunjukkan bahwa isi Al-Qur’an sesuai sains—tapi sambil nyerang sains juga kalau nggak cocok sama tafsirnya. Sayangnya, belakangan terungkap banyak “fakta sains”-nya nggak valid, bahkan ada yang palsu. Ini cocokologi versi sains.


Lalu datang zaman demokrasi, hak asasi manusia, emansipasi wanita, kebebasan berpikir, dan modernitas jadi standar dunia. Muncullah gerakan Islam Liberal yang membungkus Islam dengan retorika modern. Ini cocokologi versi modernitas.


Varian lain cocokologi seperti Islam Nusantara ala NU, Islam Berkemajuan ala Muhamadiyah, atau Partai Politik Islam di parlemen ala PKS.


Semua bentuk cocokologi ini kelihatan keren, tapi biasanya nggak bertahan lama. Karena intinya: itu bukan wajah asli Islam. Itu cuma polesan tipis kayak bedak yang gampang luntur kena keringat realita.


Islam yang asli adalah Islam seperti yang dijalankan Nabi Muhammad. Islam yang ada di Al-Qur’an. Islam yang tidak berdandan dengan demokrasi, partai politik, HAM, emansipasi wanita, kebebasan berpendapat, rasionalitas atau sains modern.


Sayangnya, Islam model begitu... ya mirip dengan yang dipraktikkan kelompok kayak ISIS atau Taliban.


Tapi bagaimana lagi, banyak dari kita yang ingin mempertahankan Islam, walaupun kita bukan orang Arab yang hidup seribulimaratus tahun yang lalu. 


Jika ber-Islam kaffah ala ISIS hanya akan jadi bencana di muka bumi, mau tak mau Islam harus bertahan dengan cocokologi, tinggal pilih cocokologi yang paling cocok.

Komentar