Survei Indikator Politik (Tribunnews, 19 Juni 2025) menunjukkan: 𝟳𝟮% 𝗿𝗲𝘀𝗽𝗼𝗻𝗱𝗲𝗻 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝗸𝗮𝗶 𝗝𝗼𝗸𝗼𝘄𝗶. Angka ini 𝗯𝗲𝘀𝗮𝗿, apalagi di tengah derasnya fitnah dan upaya menjatuhkan citranya sepanjang waktu. Sekaligus 𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮𝗹 𝗯𝗲𝘀𝗮𝗿 terkait 𝗹𝗮𝗻𝘀𝗸𝗮𝗽 𝟮𝟬𝟮𝟵.
𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗯𝗲𝗴𝗶𝘁𝘂?
Jawabannya bukan semata pada prestasi, kebijakan, atau jejak kepemimpinannya semasa jadi preaiden–tapi pada sesuatu yang lebih dalam: 𝘱𝘴𝘪𝘬𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪 𝘬𝘶𝘺𝘰-𝘬𝘶𝘺𝘰, 𝘱𝘴𝘪𝘬𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘺𝘰-𝘬𝘶𝘺𝘰–istilah dari khasanah Jawa bagi mereka yang terus ditekan, dijegal, disudutkan secara tidak adil.
Justru dari situlah tumbuh simpati moral dan solidaritas diam-diam. Dalam alam bawah sadar publik, ada empati pada ketertindasan. Dalam 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘐𝘥𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘺 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 dari Henri Tajfel: manusia cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang mewakili luka atau pengalaman kolektifnya.
Semakin diserang, semakin banyak yang merasa:
"𝘋𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢. 𝘋𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢."
Itulah yang terjadi pada Jokowi. Serangan brutal dan tidak proporsional justru menguatkan ikatan emosional antara Jokowi dan rakyat. Fenomena ini juga dikenal sebagai 𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳𝘥𝘰𝘨 𝘦𝘧𝘧𝘦𝘤𝘵
dalam psikologi politik.
Kesalahan lawan-lawan politiknya adalah memusuhi dengan amarah, kebencian, pun aroma agenda busuk–bukan menawarkan gagasan tandingan. Mereka lupa bahwa politik di Indonesia bukan hanya soal 𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮, tapi juga soal 𝗿𝗮𝘀𝗮.
Maka, jika ingin bersaing sehat di 2029, caranya bukan dengan menghancurkan Jokowi—tapi dengan menghadirkan tokoh yang bisa menyamai 𝗱𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗲𝘀𝗼𝗻𝗮𝗻𝘀𝗶 𝗯𝗮𝘁𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮, atau melampauinya.
Kalau tidak, psikologi dikuyo-kuyo itu akan tetap hidup–dan pada waktunya–bisa membalik semua narasi yang dibangun dengan kebencian.
–𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗿𝘂𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗯𝘂𝗸𝗮, 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗱𝗶 𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗹𝘂𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗸𝘂𝗻𝘆𝗮𝗵 𝗱𝗶𝗮𝗺-𝗱𝗶𝗮𝗺 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗺𝗮 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗲𝗸𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗵𝘀𝘆𝗮𝘁.
(𝘊𝘢𝘵𝘢𝘵𝘢𝘯: 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘱 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘱).
By: HT
Komentar
Posting Komentar