Kenapa orang terus mempersoalkan keaslian ijasah Jokowi? Apakah murni karena soal "ijasah palsu?"
Pertanyaan yang sama: Kenapa orang terus-menerus membela Palestina? Apakah murni karena soal kemanusiaan?
Secara umum, keduanya enggak. Banyak kok kasus lain yang lebih parah dari sekadar perdebatan ijasah, dan kasus kemanusiaan lebih parah dari konflik Israel-Hamas. Tapi umumnya hal-hal itu gak menarik perhatian mereka.
Manusia itu mahluk sosial, di mana perilakunya erat berkaitan satu sama lain. Karena itu, sipat manusia itu kalo gak mempengaruhi ya dipengaruhi. Ada faktor "herd mentality".
Orang-orang cenderung disatukan dan dipisahkan oleh "nilai-nilai"; termasuk di antaranya simbol-simbol.
"Elu belum anak muda kalo belum begini", "elu belum modern kalo belum punya ini", dst.. dst..
Ini juga sebab kenapa orang milih partai atau capres, bukan karena kinerjanya. Tapi karena ada kesamaan vibrasi nilai-nilainya. Manusia itu memang sulit bersikap obyektip, kecuali dalam kerangka akademik yang dingin.
Itulah kenapa, kepenganutan agama dan pandangan politik itu sipatnya demograpis. Begitu juga mengenai capres atau partai mana yang dominan di suatu daerah, demograpis sekali.
Kalo lu kebetulan lahir jadi orang Aceh, kemungkinan sangat besar lu akan jadi seorang Muslim. Begitu juga kalo lu kebetulan lahir jadi orang Bali, kemungkinan sangat besar lu akan Hindu.
Nggak ada orang yang punya alasan rasional kenapa memilih agama A, atau kecendeungan politik ke B, misalnya. "Alasan" itu cuma kemudian dicari-cari saja.
Kenapa orang-orang pada latah mempersoalkan keaslian ijasah Jokowi, padahal ybs sudah tidak punya jabatan apa-apa dan banyak kasus lain yang sebenernya lebih penting buat diawasi?
Pertama: Ya karena pada dasarnya mereka memang tidak menyukai Jokowi.
Kedua, faktor "herd mentality"; karena lingkungan circlenya begitu, maka tanpa sadar dia terpengaruh jadi begitu. Ini "human nature". Dalam banyak hal, memang begitu.
Ketiga, masih nyambung dengan point kedua: Korban framing media massa (termasuk medsos).
Ini hal-hal yang sipatnya human nature. Ya emang begini "manusia" itu. Fakta-fakta sipat manusia kayak gini yang kemudian dikembangkan buat jualan prodak (branding), propaganda (politik), dan click-bait media massa online.
Sebagian besar orang beli prodak itu kan gak pake alasan rasional, tapi karena rasa sentimentil terhadap merk tertentu yang dianggap merepresentasikan kalangannya.
Coba, kalo lu demen main seketbord, merk sepatu apa yang populer dan merepresentasikan "elu banget?" Yang pertama kepikiran, ya tentu saja, VANS.
Jadi sketers beli VANS bukan beli komoditinya (sepatu yang nyaman dan berkwalitet), tapi beli merk yang dirasa merepresentasikan mood dan jati diri mereka.
-------------------------------------------------
Lebih jauh dikit, tapi masih ada hubungannya:
Tahun 2015, di depan Sunter Mall ada driper Gojek yang tewas dibacok tukang parkir, gara-gara duit parkir 2000 perak.
Si driper itu mau ambil atau drop penumpang, karena ngerasa cuma sebentar, gak mau bayar parkir. Sementara si tukang parkir gak terima, cekcok, dan berujung pembacokan yang menewaskan si driper.
Orang yang ngeliat mikirnya: "Parah banget ya, cuma gara-gara duit 2000 perak, nyawa bisa melayang.."
Nggak ada perkelahian cuma gara-gara duit 2000 perak. Ini mesti dihighlight.
Perkelahian itu terjadi karena faktor harga diri (ego) kedua belah fihak.
"Uang 2000 perak" cuma pemicu saja, tapi sejatinya sama sekali bukan karena itu.
Faktor harga diri, nilai-nilai, dan berbagai unsur-unsur sentimentil, itu adalah faktor terkuat buat menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu hal atau bersikap. Jadi bukan plain karena duit 2000 perak.
Begitu pun soal ijazah palsu Jokowi, gereja tanpa izin, teriakan-teriakan "bela palestina" dan seterusnya.
Ini bukan soal esensinya, tapi soal hal-hal sentimentil yang mengcoveri sikap-sikap itu semua.
Komentar
Posting Komentar