Ini berbeda dengan sudut pandang kebanyakan orang ya:
Kontroversi Ijazah Jokowi: Cermin Dunia Digital Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kontroversi unik seputar ijazah kelulusan Presiden ketujuh Joko Widodo. Meski pihak kampus dan lembaga resmi telah memberikan klarifikasi berulang kali, sebagian masyarakat tetap meragukan keasliannya. Yang menarik, sebagian dari para peragu ini justru berlatar belakang akademik. Apa sebenarnya yang terjadi?
Ini bukan sekadar soal selembar ijazah—melainkan refleksi dari pergeseran budaya dan psikologis yang makin nyata di era digital.
Bangkitnya Era Post-Truth
Kita sedang hidup di era post-truth, masa ketika emosi dan keyakinan pribadi seringkali lebih berpengaruh daripada fakta. Dalam suasana seperti ini, hal yang seharusnya sederhana—seperti dokumen kelulusan—bisa dengan mudah dipelintir menjadi bahan politisasi.
Media sosial menjadi lahan subur untuk fenomena ini. Satu unggahan yang menebar kecurigaan bisa viral bukan karena kebenarannya, tetapi karena resonansi emosional yang dirasakan banyak orang. Narasi seperti ini menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan sekali tertanam, sulit untuk dicabut.
Mitos tentang Kritisnya Kaum Akademik
Banyak yang berasumsi bahwa orang dengan gelar akademik otomatis memiliki daya berpikir kritis. Padahal, pendidikan formal tidak selalu melatih seseorang untuk berpikir secara reflektif dan skeptis terhadap biasnya sendiri.
Bahkan orang cerdas pun bisa terjebak dalam bias konfirmasi, terutama jika sudah terikat pada preferensi politik tertentu. Ketika seseorang sudah tidak percaya pada Jokowi, maka narasi “ijazah palsu” akan terasa benar, walaupun tanpa bukti kuat.
Cermin untuk Kita Semua
Kontroversi ini sesungguhnya lebih berbicara tentang kita sebagai masyarakat, bukan hanya soal seorang presiden. Mudahnya kita termakan disinformasi, semangat untuk berbagi sensasi, serta menurunnya kepercayaan pada lembaga resmi menunjukkan adanya krisis kolektif.
Inilah tanda bahwa literasi digital, regulasi emosi, dan kemampuan berpikir kritis menjadi semakin mendesak.
Media sosial seharusnya bukan hanya tempat untuk melampiaskan emosi, tetapi juga ruang publik yang membentuk demokrasi, kredibilitas, dan kohesi sosial kita.
Jika kita tidak belajar dari fenomena ini, maka yang sebenarnya kita pertaruhkan bukan hanya reputasi Jokowi—tetapi kemampuan kita untuk menilai sesuatu secara rasional di era digital ini.
Komentar
Posting Komentar