Alam jagat raya ini konon sudah berumur 14 milyar tahun. Kalo ada yang nanya, “gimana rasanya mati?” Ya tinggal bayangin aja; selama 14 milyar tahun sampe saat ini, lu ada di mana? Gimana rasanya? Blank, gak ada. Ya gitu rasanya mati.
Mungkin bakal ada yang nanya lagi, “kalo gitu, enak dong orang jahat yang gak ketangkep di dunia gak bakal dapet balasan di akherat”.
Jawaban simpelnya, IYA. Mereka gak akan dapat balasan apa-apa di akherat. Tapi, konsep keadilan di alam semesta gak gitu.
Yang pertama mesti dipahami adalah, gak ada “pribadi aku” yang solid. “Aku” itu cuma ilusi karena ada ingatan yang kontinyu yang membuat seolah-olah “aku” adalah “satu entitas utuh”. Analogi sederhananya kayak lagu. Kita memiliki persepsi bahwa “lagu” itu suatu entitas yang utuh dan ada. Padahal enggak. Lagu kan cuma susunan nada aja yang dirangkai sedemikian rupa, di mana nada-nada yang sama bisa dirangkai buat bikin lagu yang berbeda.
Bayangin: Ada orang yang sangat jahat dan bengis, sehingga meresahkan masyarakat. Suatu hari, dia kejedot dan mengalami hilang ingatan parah. Dia gak inget siapa dirinya dan gak inget apa yang telah diperbuat. Dia “blank” dan jadi pribadi yang berbeda yang memulai segalanya dari awal lagi; kenalan sama orang, mempelajari pola tata-krama lingkungan sekitar, dst.. dst..
Pertanyaannya: Apakah adil kalo dia dihakimi atas perbuatannya di masa lalu, yang dia sama sekali gak inget dan sama sekali gak pernah ngerasa melakukannya?
Konsep “keadilan akherat” bermula dari dasar pemahaman yang memandang bahwa seorang individu adalah entitas yang solid dan kontinyu, sehingga dia bisa dihakimi atas apa yang dia perbuat di masa lalu. Dalam pemahaman ini, saya umur 5 tahun dianggap sama dengan saya umur 50 tahun. Maka walau saya kena hilang ingatan parah, saya tetap terbeban dengan pertanggungjawaban perbuatan di masa lalu yang saya bahkan tidak ingat pernah melakukannya.
Tetapi dalam konsep “tiada aku”, pada hakekatnya enggak ada orang (“aku”) yang berbuat jahat. Yang ada adalah “perbuatan jahat”. Dan perbuatan jahat ini PASTI memiliki dampak, misalnya “meresahkan masyarakat”. Dan kalo masyarakat resah, PASTI ada dampaknya, misal tindakan untuk mengeliminir perbuatan jahat itu (misal dengan menciptakan konsep pengadilan, hakim, jaksa, polisi, demonstrasi, dst). Nah, munculnya tindakan untuk mengeliminir perbuatan jahat, PASTI ada dampaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya... itulah konsep karma.
Apa yang kita perbuat sekarang itu adalah DAMPAK dari perbuatan sebelumnya, dan akan BERDAMPAK dalam perbuatan selanjutnya.
Itulah keadilan.
#RenunganJumatWage
Komentar
Posting Komentar