Jejak Islam Awal yang Tersembunyi

 🌳 JUDUL TULISAN: 🌳

Jejak Islam Awal yang Tersembunyi: Mengapa Nama Nabi Muhammad Tidak Muncul dalam Prasasti Sebelum 690 M? 



✍️ Disusun oleh Akmaluddin Said  🇮🇩

Berdasarkan berbagai sumber ilmiah


🌿 Kata Pengantar 🌿


Di tengah hamparan padang pasir yang sunyi, di antara reruntuhan kota-kota kuno dan batu-batu bertuliskan huruf Arab awal, tersembunyi petunjuk tentang lahirnya sebuah peradaban. Para ahli epigrafi seperti Ilkka Lindstedt, Ahmad Al-Jallad, Robert Hoyland, dan Fred Donner telah menyisir prasasti-prasasti ini untuk mengungkap misteri masa lalu. Namun, ada satu hal yang mencengangkan—tidak ada satu pun prasasti Arab dari tahun 640 hingga 690 M yang menyebut nama Muhammad secara eksplisit.


Bagaimana mungkin sosok yang dianggap sebagai pendiri Islam hampir tidak terlihat dalam bukti epigrafi pada masa-masa awal? Mengapa nama Muhammad baru mulai muncul dalam inskripsi resmi pada akhir abad ke-7 (692M)? Dengan mengupas bukti arkeologis dan analisis epigrafi, tulisan ini akan membawa Anda menelusuri bagaimana Islam berkembang melalui jejak material yang tersembunyi di batu-batu gurun.


🌳 PENJELASAN RINCI: 🌳


📜 Jejak Epigrafi Islam Awal: 640–740 M 📜


1️⃣ Pendahuluan


Studi epigrafi yang dilakukan oleh Ilkka Lindstedt dan para peneliti lainnya bertujuan untuk memahami bagaimana Islam berkembang pada periode awal melalui bukti material. Prasasti batu Arab dari abad ke-7 hingga awal abad ke-8 menjadi sumber utama dalam analisis ini, membantu mengungkap pola perubahan dalam ekspresi religius dan politik. Salah satu temuan utama adalah ketiadaan referensi eksplisit tentang Muhammad dalam prasasti bertanggal sebelum tahun 690 M, yang menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana Islam awal dipraktikkan dan disebarluaskan pada masa itu.


Setelah tahun 690 M, terjadi perubahan signifikan dalam terminologi Islam yang digunakan dalam prasasti. Istilah seperti "Rasūl Allāh" mulai muncul, meskipun awalnya tidak selalu dikaitkan langsung dengan Muhammad. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan bertahap dalam representasi Islam, di mana unsur-unsur teologis dan administratif mulai diperkenalkan lebih eksplisit dalam dokumen epigrafi. Pergeseran ini juga menandai proses kodifikasi Islam sebagai sistem kepercayaan yang lebih terstruktur.


Peran monumen seperti Dome of the Rock di Yerusalem, yang dibangun oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 692 M, menjadi bukti penting dalam pembentukan identitas Islam awal. Inskripsinya mencantumkan referensi kepada Muhammad dan prinsip-prinsip Islam dalam bentuk yang lebih resmi, menegaskan posisi Islam di wilayah yang sebelumnya didominasi oleh Kristen dan Yahudi. Pembangunan monumen ini bukan hanya bersifat religius, tetapi juga merupakan strategi politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Umayyah.


Penelitian epigrafi ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana Islam berkembang secara bertahap, bukan sebagai sistem yang langsung mapan sejak awal. Bukti material menunjukkan bahwa peran Muhammad dalam Islam awal kemungkinan mengalami transformasi dalam konteks politik dan sosial saat itu. Dengan demikian, kajian ini menantang asumsi tradisional mengenai Islam awal dan menyoroti perlunya pendekatan berbasis bukti dalam memahami sejarah agama ini.


2️⃣ Kelangkaan Bukti Epigrafi (640–690 M)


Survei terhadap lebih dari 30.000 prasasti batu dari abad ke-7 hingga awal abad ke-8 di Arabia, Negev, Transjordan, dan Suriah menunjukkan bahwa tidak ada prasasti yang secara eksplisit menyebut Muhammad sebelum tahun 690 M. Temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana Islam awal dipraktikkan dan direpresentasikan dalam masyarakat sebelum periode tersebut. Jika Muhammad adalah figur sentral sejak awal, seharusnya namanya muncul lebih sering dalam bukti epigrafi, sebagaimana tokoh-tokoh penting dalam peradaban lain.


Menurut Ahmad Al-Jallad, jumlah prasasti yang belum ditemukan diperkirakan lebih dari 100.000, sehingga masih ada kemungkinan adanya bukti yang belum terungkap. Namun, dari data yang tersedia, tidak adanya penyebutan Muhammad sebelum tahun 690 M mengindikasikan bahwa pemahaman Islam pada masa itu mungkin lebih beragam dibandingkan dengan narasi sejarah yang umum diterima. Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai sistem kepercayaan mengalami perkembangan bertahap, bukan sesuatu yang langsung mapan pasca-wafatnya Muhammad.


Istilah "Rasūl Allāh" (رسول الله, Nabi Tuhan) baru mulai muncul dalam prasasti pada akhir abad ke-7, menandakan adanya perubahan dalam ekspresi keagamaan dalam dokumen epigrafi. Munculnya istilah ini bertepatan dengan periode di mana pemerintahan Umayyah mulai mengkonsolidasikan kekuasaan dan membentuk identitas Islam yang lebih terstruktur. Pergeseran ini memperlihatkan bahwa konsep kenabian Muhammad dan Islam sebagai agama resmi mulai mendapatkan bentuk yang lebih jelas seiring waktu.


Implikasi dari temuan ini adalah bahwa Islam awal kemungkinan besar tidak langsung memiliki struktur teologis dan politik yang seragam. Sebaliknya, Islam berkembang secara bertahap melalui berbagai faktor, termasuk kebijakan penguasa, interaksi sosial, serta adaptasi terhadap lingkungan politik dan budaya setempat. Studi epigrafi ini menantang asumsi bahwa Islam sejak awal sudah memiliki sistem doktrinal yang solid, dan justru menunjukkan adanya proses evolusi dalam pembentukannya.


3️⃣ Transformasi Epigrafi dan Politik Islam (690–730 M)


📌 Munculnya Istilah "Rasūl Allāh" (690-an M)


Pada akhir abad ke-7, beberapa prasasti mulai menyebut istilah Rasūl Allāh (رسول الله), yang berarti "Nabi Tuhan." Namun, istilah ini tidak selalu secara eksplisit dikaitkan dengan Muhammad. Tidak adanya penyebutan langsung menimbulkan pertanyaan apakah istilah ini digunakan untuk merujuk kepada Muhammad atau masih bersifat umum bagi figur kenabian dalam konteks tertentu.


Munculnya istilah ini dalam prasasti menunjukkan adanya upaya untuk memperkenalkan atau menegaskan konsep kenabian dalam lingkungan administratif dan religius. Ini terjadi bersamaan dengan konsolidasi kekuasaan Dinasti Umayyah, yang mulai memperjelas struktur keislaman dalam sistem pemerintahan. Dalam konteks ini, penggunaan istilah Rasūl Allāh bisa jadi merupakan strategi politik untuk memperkuat legitimasi Islam sebagai agama dominan.


Keterlambatan penyebutan Muhammad secara eksplisit dapat menunjukkan bahwa pemahaman tentang kenabiannya masih dalam tahap perkembangan. Penggunaan istilah yang lebih umum sebelum 690 M mencerminkan adanya fase transisi dalam sejarah Islam, di mana identitas keagamaan belum sepenuhnya dikodifikasi dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Seiring waktu, istilah ini semakin dikaitkan langsung dengan Muhammad, menandakan berkembangnya doktrin Islam yang lebih tegas.


Implikasi dari fenomena ini adalah bahwa konsep kenabian dalam Islam awal kemungkinan mengalami perubahan seiring waktu. Alih-alih langsung dianggap sebagai figur sentral sejak awal, Muhammad tampaknya mulai mendapatkan peran yang lebih jelas dalam doktrin Islam melalui kebijakan politik dan perkembangan teologi pada akhir abad ke-7.


📌 Prasasti Bertanggal (690–710 M)


Nama Muhammad mulai disebut lebih sering, terutama dalam konteks politik dan keagamaan.


Khalifah mulai menekankan penggunaan terminologi Islam dalam inskripsi resmi.


📌 Pembangunan Dome of the Rock (692 M)


Dibangun oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Yerusalem.


Inskripsinya mencantumkan nama Muhammad, tetapi dalam narasi yang lebih teologis dibandingkan historis.


Diduga sebagai bagian dari strategi politik untuk menegaskan otoritas Islam di wilayah yang sebelumnya didominasi oleh Kristen dan Yahudi.


4️⃣ Hipotesis "Kultus Kepribadian" Muhammad


Muhammad tidak serta-merta menjadi figur sentral dalam Islam segera setelah wafatnya.


Sebelum 690 M, nama Muhammad tidak muncul dalam prasasti batu yang diketahui.


Setelah 690 M, referensi kepada Muhammad dalam prasasti meningkat, terutama dalam konteks politik dan agama.


Monumen seperti Dome of the Rock menunjukkan upaya sistematis untuk menegaskan Muhammad sebagai tokoh sentral Islam.


Perubahan ini mendukung hipotesis bahwa kultus kepribadian Muhammad berkembang secara bertahap, bukan sebagai sesuatu yang sudah mapan sejak awal.


5️⃣ Kesimpulan


Berdasarkan analisis epigrafi oleh Lindstedt dan para ahli lainnya, kita dapat menyimpulkan bahwa:


1) Tidak ada prasasti yang menyebut Muhammad antara 640–690 M.

2) Istilah "Rasūl Allāh" mulai muncul pada akhir abad ke-7, tetapi belum dikaitkan langsung dengan Muhammad.

3) Islam awal berkembang secara bertahap, dan penguatan peran Muhammad terjadi secara bertahap.

4) Monumen seperti Dome of the Rock (692M) adalah bagian dari strategi politik untuk membangun identitas Islam yang lebih kuat.


Penemuan ini menggugah pertanyaan yang lebih dalam: Apakah Islam sejak awal sudah memiliki struktur teologis dan politik yang mapan? Ataukah ada proses panjang yang membentuknya menjadi seperti yang kita kenal hari ini?


📚 Referensi Ilmiah 📚


1) Ilkka Lindstedt, "Who Is In, Who Is Out? Early Muslim Identity through Epigraphy and Theory". Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal Jerusalem Studies in Arabic and Islam volume 46 pada tahun 2019. 

2) Ahmad Al-Jallad, The Religion and Rituals of the Nomads of Pre-Islamic Arabia.

3) Robert Hoyland, Seeing Islam as Others Saw It (1997).

4) Fred Donner, Muhammad and the Believers (2010).

5) Yehuda Nevo, "Crossroads to Islam: The Origins of the Arab Religion and the Arab State" (2003),


📌 Penelitian ini menunjukkan bahwa memahami sejarah Islam awal memerlukan analisis kritis terhadap bukti material, bukan hanya berdasarkan asumsi tradisional.


Dengan melihat bukti epigrafi yang ada, kita dapat memahami bahwa Islam awal bukanlah sebuah entitas yang langsung terbentuk dengan struktur yang kita kenal saat ini. Proses bertahap yang terjadi pada abad ke-7 hingga ke-8 menandai bagaimana sebuah keyakinan berkembang menjadi agama yang mendunia.


Salam Hormat,

Akmaluddin Said

Note: Tulisan di atas bisa saja salah, jika ditemukan bukti empiris atau data terkini.



Cc: Budi Santosa Purwokartiko Dedi Khana W Himawan Pridityo Himawan Santoso Esty Febriani Wahyudi Atmo Atmo Prawiro Yahya Hutauruk Ined Ali Muhammad Syamsu Rijal Muhammad Mulawarmansyah Muhammad Hamizan Muhamad Hasan Basri Hasan Supriadi Hasanudin Abdurakhman Cak Paidi Mustafa Husin Baabad Arloren Antoni Herawan Widodo

Komentar