PERJALANAN SEJARAH AJARAN SIWA-BUDDHA DI INDONESIA
Oleh : Ardhana Wijaya Saputra
Perjalanan sejarah ajaran Siwa dan Buddha di Indonesia pada zaman kuno membawa implikasi yang sangat mendalam dalam kebudayaan Indonesia. Pulau Jawa selama hampir 10 abad, yaitu sejak abad ke-5 hingga ke-15 mengalami dinamika pengaruh agama Hindu dan Buddha senantiasa sebuah mosaik budaya yang sangat menarik diteliti. Pulau Jawa menjadi ajang bertemunya budaya-budaya besar dunia. Wajar saja, pulau Jawa menjadi konsentrasi budaya, ekonomi dan politik selama berabad-abad, dan bekas-bekasnya masih terasa hingga sekarang. Bagaimana budaya-budaya besar dunia berinteraksi dengan budaya lokal, atau tradisi besar dengan tradisi kecil sangat menarik dipelajari untuk memetik kearifan-kearifan sejarah yang sangat bermanfaat dijadikan bahan pertimbangan membangun Indonesia yang maju, beradab dan berperikemanusiaan di masa-masa yang akan datang. Mengamati secara lebih dekat lagi ternyata di sana tersirat pemikiran-pemikiran bahasa, sastra, filsafat ajaran Siwa dan Buddha.
Ajaran Siwa-Buddha yang merupakan perpaduan antara ajaran Siwa dan Buddha adalah sebuah produk khas "local genius" Nusantara yang tidak ditemukan di tempat lain. Kalaupun di tempat lain kedua agama ini bisa hidup berdampingan, seperti di Nepal, Tibet, Kashmir (India) dan lain-lain, di Indonesia (baca: Jawa) keduanya tidak hanya hidup berdampingan tetapi sudah menjadi berpadu dalam sistem metafisika, teologi dan agama yang bersistem jelas dan masih dipraktekkan oleh pemeluknya yang kebetulan sebagian besar hidup di Bali. Ungkapan "Siwa lawan Buddha tunggal" memperlihatkan kemanunggalan kedua agama ini. Antara Siwa dan Buddha tidak ada perbedaan. Di dunia ini hanya ada di Indonesia, khususnya di Bali dipelihara dan hidup sebagai agama yang tetap dipeluk oleh pemeluknya. Hal ini memperlihatkan adanya perkembangan pemikiran filsafat di dalam tradisi perjalanan hidup berdampingan kedua agama tersebut. Penyatuan ini sudah menyeluruh hampir seluruh bidang kehidupan. Peradapan Indonesia (Jawa) sejak abad ke-8 (Era Jawa Tengah) hingga akhir abad ke-14, yaitu ketika Majapahit (Era Jawa Timur) runtuh akibat masuknya kekuatan Islam dibangun di atas nilai-nilai kedua agama ini. Yang jelas, ketika Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi.
Jawa Tengah (Central Java) mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di masa yang silam. Ada semacam kesan umum apa yang disebut kebudayaan Jawa berpusat di sini. Dikatakan Jawa Tengah sebagai asal mula bangkitnya kebudayaan Jawa (cradle of Javanese culture). Hingga saat ini jika ingin mendalami kebudayaan Jawa yang sebenarnya, para peneliti akan datang ke wilayah Jawa Tengah. Berdirinya sejumlah kerajaan yang penting di wilayah ini memantapkan pembinaan dan penyebaran kebudayaan Jawa yang religius-spiritual ke segala penjuru Jawa, termasuk Jawa Timur (East Java) yang berkembang setelah era Jawa Tengah. Di tempat inilah kedua agama ini hidup saling berdekatan tanpa adanya konflik apa pun.
Setelah Jawa Tengah, Jawa Timur mempunyai nilai yang istimewa di dalam perjalanan sejarah dan filsafat agama Siwa dan agama Buddha. Betapa tidak, di sinilah penyatuan itu benar-benar terjadi. Pergeseran pusat kekuasaan sekarang bergerak ke Jawa Timur. Di sinilah ajaran Tantrayana berkembang secara pesat. Perpaduan yang berjalan harmonis ini ada di Jawa Timur yang sudah kelihatan sejak pemerintahan raja Mpu Sindok (929-947 Masehi). Mpu Sindok dikatakan sebagai raja yang memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Berdasarkan catatan efigrafis, Mpu Sindok adalah raja yang sangat toleran terhadap agama Siwa dan Buddha. Raja ini mengeluarkan prasasti terbanyak selama masa pemerintahannya. Koalisi agama Siwa dan Buddha nampak dalam kehidupan kerajaan. Masa Kediri dan dilanjutkan dengan masa Majapahit menyediakan suasana yang kondusif bagi kedua agama ini terus melakukan pendekatan-pendekatan ke arah penyatuan.
Setelah Jawa Timur, Bali mempunyai posisi yang sangat penting di dalam sejarah perkembangan agama Siwa-Buddha. Di pulau kecil ini agama ini dijaga, berkembang dan dijadikan jalan menuju pembebasan oleh sebagian besar masyarakat Bali sementara di Jawa Timur menghilang akibat meluasnya pengaruh Islam yang tidak hanya menjamah daerah pesisir tetapi juga kota-kota di pedalaman Jawa; tidak hanya masyarakat awam tetapi juga kelompok elit kekuasaan. Masalah bagaimana orang-orang Hindu "dikonversi" menjadi muslim pada masa itu perlu dikaji lebih mendalam dengan memperhatikan bukti-bukti yang lebih baru yang belum sempat diperiksa oleh para sejarawan. Sehingga generasi kita membaca sejarah yang konprehensif perjalanan bangsa Indonesia. Bagaimana Islam masuk ke India juga dapat dijadikan semacam bandingan.
Bertemu dan bersatunya ajaran Siwa-Buddha merupakan fenomena kebudayaan yang menarik untuk diteliti. Fenomena ini sangat khas yang berbeda dari tempat-tempat lain di dunia. Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan wilayah dimana kedua agama ini tidak hanya bisa hidup secara damai, namun mengadakan penyatuan yang sangat mendalam; tidak hanya pada tataran upacara, susila namun pada tataran tattwa atau aspek metafisika. Mengamati teks-teks sastra baik yang Buddhistik maupun Siwaistik, maka nampak adanya evolusi sejarah pemikiran filsafat dimana secara pasti kedua agama ini mengadakan koalisi bahkan menunggal menjadi ajaran Siwa-Buddha. Kakawin Sutasoma begitu juga Arjuna Wijaya dengan sangat jelas menyuratkan bahwa Siwa dan Buddha tunggal, tidak ada kebenaran yang mendua. Bukti-bukti tekstual didukung secara meyakinkan oleh bukti-bukti berupa prasasti, candi, dan arca yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada beberapa raja yang dijadikan figur tauladan yang telah mampu memperagakan ajaran Siwa-Buddha dan setelah wafatnya diarcakan di dalam dua arca atau candi Siwa-Buddha. Raja Kertanegara, misalnya adalah sebuah contoh yang jelas ketika beliau diarcakan dan dicandikan di candi Jago. Begitu banyak paralelisme antara ajaran Siwa dan Buddha yang diwarnai oleh ajaran Tantrayana.
Ajaran Siwa-Buddha ternyata menjadi ajaran yang menonjol di dalam perkembangannya berikutnya, yakni agama Hindu Bali. Di sini ajaran Siwa-Buddha berkolaberasi dengan berbagai sekte yang pernah hidup di Indonesia di bawah pimpinan ajaran Siwa Siddhanta dengan Parama Siwa sebagai prinsip tertinggi, asal mula dari segalanya, dan menjadi tujuan dari setiap perilaku agama pemeluk agama Hindu Bali. Elemen-elemen Siwa-Buddha di dalam agama ini masih sangat jelas baik di dalam tataran upacara, susila maupun tattwa. Eksistensi Pendeta Siwa dan Pendeta Buddha di dalam agama ini merupakan bukti betapa ajaran Siwa-Buddha tunggal. Teks Bubuksah Gagak Aking memperlihatkan bahwa antara ajaran Siwa dan Buddha menuju kepada tujuan yang sama, yaitu Siwa-Buddha; Pendeta Siwa representasi Gagak Aking; sementara Pendeta Buddha representasi Bubuksah. Setelah melalui berbagai tapa-brata, akhirnya keduanya mampu mencapai Sunya.
Berdasarkan bukti-bukti di dalam teks Bubuksah nampak betapa kompleks dinamika kedua agama Siwa dan Buddha ini. Bak sungai arusnya mengalir berliku-liku sebelum akhirnya sampai di samudra. Ada konsep baru yang muncul pada masa-masa akhir era Jawa Timur, yaitu ketika munculnya konsep Guruisme seperti tercantum di dalam teks Tantu Panggelaran dan juga Bubuksah dimana Tuhan tertinggi disebut Bhatara Guru atau sang Hyang Suksma Eka. Konsep Guruisme di sini bercorak Siwa dan Buddha sehingga menempatkan Siwa sebagai dewa tertinggi. Keduanya representasi dari ajaran Bhairawa, yakni Bhairawa Siwa dan Bhairawa Buddha. Jadi, nampak pada aspek inilah keduanya bisa bertemu dan menyatu. Disamping itu juga muncul konsep Wisnu-Buddha (Mahadewa) di dalam Tantu Panggelaran. Namun di dalam perjalanan waktu konsep ini tidak berkembang dan ini didominasi bahkan diserap oleh konsep Siwa-Buddha yang terus berkembang hingga ke Bali.
Kedua agama ini secara sadar melakukan pendekatan dan penunggalan seperti muncul di dalam kakawin Arjuna Wijaya dan puncaknya pada kakawin Sutasoma dimana secara hakikat atau metafisika Siwa dan Buddha dipandang tunggal, esa tidak ada kebenaran mendua. "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa". Pada tataran upacara atau susila mungkin saja masih ada perbedaan, seperti disimbolkan oleh kedua pencari kebenaran, Bubuksah dan Gagakaking. Pada akhirnya keduanya mencapai pembebasan (sunya), walaupun Gagak Aking hanya memegang ekor harimau terbang ke alam niskala menuju pembebasan; sementara adiknya Bubuksah duduk di atas punggung, mengendarai si harimau tersebut.
Masalah Siwa-Buddha memang amat sentral dalam sejarah agama Hindu-Dharma di Bali, yang menjadikan agama ini tidak semata-mata "Hindu" karena di dalamnya terdapat hasil pergulatan pemikiran keagamaan yang juga bersumber dari agama Buddha, di samping tentu saja panduan yang kuat dari sumber-sumber Hindu sendiri, mulai dari kitab suci Veda.
Apa yang disebut Hindu Dharma Indonesia sejak tahun 1959, yaitu sejak agama Hindu diakui secara formal oleh pemeritah Indonesia sebenarnya adalah perkembangan lebih lanjut ajaran Siwa-Buddha yang telah berkolaberasi dengan sekte-sekte dan juga dengan elemen-elemen asli Nusantara. Istilah ini sering dijumpai di dalam teks-teks kesusastraan Jawa Kuno dan juga di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja baik di Jawa maupun di Bali. Istilah inilah yang digunakan oleh para sarjana yang telah melakukan penelitian secara mendalam di dalam bidang ini.
Penelitian terhadap data-data prasasti Jawa Kuno dan Bali Kuno dan teks-teks berbahasa Sanskerta, Kawi (Jawa Kuno) maupun Bali Kuno dan juga dengan memperhatikan tradisi yang masih hidup berkembang di masyarakat bahwa agama orang Bali bahkan juga Jawa pada masa Jawa Kuno dan Bali Kuno adalah Siwa-Buddhagama.
Komentar
Posting Komentar