Lulus kuliah tahun 1994, saya bekerja di sebuah BUMN kontraktor pertambangan minyak. Baru beberapa bulan bekerja, saya dipecat. Saya melakukan kesalahan, tidak disiplin, sehingga terjadi kecelakaan.
Waktu itu ada 2 pendapat tentang saya. Trainer saya, expatriat dari Perancis menilai kesalahan saya bisa dimaafkan, saya tidak perlu dipecat. Tapi Engineer in Cheif yang memimpin tim di lapangan merekomendasikan agar saya dipecat.
Waktu itu saya marah. Saya menyalahkan Engineer in Chief, yang menurut saya tidak bertenggang rasa. Tapi sampai di suatu titik saya harus menerima kenyataan. Saya marah pun tidak mengubah keadaan. Lagipula, secara fakta memang nyata-nyata saya melakukan kesalahan. Dia hanya menjalankan tugas dia sebagai pimpinan.
Saya lalu menerima kenyataan itu, berhenti meratapinya.
Saat mulai kuliah S2 di Jepang profesor pembimbing saya bukan orang yang ramah. Ia meremehkan orang Asia Tenggara yang dia anggap pemalas. Karena cara pandang begitu, setiap ada kesalahan kecil yang saya lakukan, dia marah secara berlebihan. Suasana riset saya sangat tidak nyaman.
Tapi saya bertahan, terus memperbaiki diri. Perlahan pandangan profesor saya berubah. Dari meremehkan, dia jadi mengandalkan saya. Saat saya baru tahun pertama S3, dia menawarkan kesempatan post-doctoral, yang sebenarnya baru relevan setelah saya selesai kuliah S3 kelak, 3 tahun kemudian. Saat dia pensiun, dalam tulisan kenangan di bulletin kampus, dia menulis tentang peran saya dalam karir dia. Hingga kini kami masih berkomunikasi dan sesekali bertemu.
Dalam dunia kerja kita tidak selalu bertemu dengan orang yang menyenangkan. Itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Dunia memang tak selalu ramah pada kita.
Sebenarnya soal menyenangkan atau tidak itu hanya soal setting di otak kita. Otak kita merespon hal-hal yang sifatnya permukaan dengan cepat. Kata-kata kasar, wajah cemberut, dan sebagainya kita respon sebagai hal yang tidak menyenangkan. Tapi apakah hal-hal yang tidak menyenangkan itu berasal dari sesuatu yang buruk? Belum tentu.
Ada orang yang perilakunya tidak menyenangkan karena ia buruk. Ia korup, nepotis, suka dijilat, arogan, dan sebagainya. Tapi tidak selalu begitu. Ada orang yang tidak menyenangkan karena ia memegang prinsip. Ia ingin menegakkan disiplin, dan tidak memberi toleransi pada pelanggaran.
Fokus kita sebenarnya bukan pada perasaan kita, bukan pada senang atau tidak. Tapi pada pertumbuhan kita. Senang atau tidak itu sebenarnya pilihan, kalau kita mau mengendalikannya. Orang yang mampu mengendalikannya, disebut orang proaktif. Yang tidak mampu mengendalikan, akhirnya dikendalikan oleh perasaannya. Itu yang disebut orang reaktif.
Kalau kita fokus pada pertumbuhan, maka kita akan menyingkirkan rasa tidak senang tadi, dan mencari substansi-substansi pembelajaran dari pengalaman interaksi kita dengan orang lain. Dalam hal kedua orang yang saya ceritakan tadi, pada dasarnya keduanya orang baik. Tapi mereka bukan orang yang menyenangkan.
Banyak orang larut dalam keadaan menyenangkan. Atasan "baik" tidak pernah marah, tidak pernah menegur. Akibatnya, setiap kesalahan dimaafkan. Tanpa sadar orang itu tumbuh dengan membangun kebiasaan-kebiasaan buruk, yang pada suatu titik menjadi sangat sulit untuk diubah.
Orang cenderung suka mengeluh, meratap saat mendapat pengalaman tidak menyenangkan. Sumber ratapan adalah orang yang memperlakukan dia secara tidak menyenangkan. Ia lalu lupa pada subtansi, bahwa ada kesalahan yang harus dia koreksi.
Fokuslah pada pertumbuhan. Dalam setiap kejadian tidak menyenangkan temukan titik di mana kita harus melakukan koreksi. Kontribusi kesalahan orang lain dalam kejadian itu bisa saja ada. Tapi bukan urusan kita. Urusan kita adalah bagaimana agar kita tidak berkontribusi membuat kesalahan.
Tumbuhlah menjadi lebih baik dari setiap kejadian yang tidak menyenangkan.
Komentar
Posting Komentar