Dulu saat duduk di bangku kelas 2 SMU, guru sejarahku pernah cerita bagaimana reformasi gereja lahir sebagai buah perlawanan terhadap penindasan Gereja Katolik Eropa yang korup di zaman pertengahan, ada temanku yang bertanya apa respons para elit politik Eropa dan pihak Gereja Katolik Roma terhadapnya? Apakah mereka diam saja? Aku masih ingat guruku tidak menceritakan dengan detil apa yang terjadi. Mungkin terlalu sensitif untuk dibahas. Sekarang setelah aku baca sendiri sejarahnya ternyata isinya bukan sensitif tapi mengaduk perut.
Sikap yang diambil para Raja di Eropa sudah pasti bukan diam berpangku tangan. Tindakan yang mereka ambil melawan ekspansi ajaran Kristen Protestan yang diinisiasi oleh Martin Luther dan John Calvin memicu konflik sektarian paling berdarah di sejarah Eropa zaman pertengahan. Peperangan antara penganut Kristen Protestan melawan penganut Katolik Roma terjadi selama 30 tahun di Eropa tengah, mulai tahun 1618-1648. Peperangan itu merenggut antara 4,8 - 8 juta jiwa. Bahkan di beberapa tempat penduduk Jerman tewas hampir separuhnya. Bukan sebuah kebetulan kalau revolusi saintifik terjadi hampir bersamaan dengan tragedi itu. Buku-buku filosofi “terlarang” terbit dan dibaca di mana-mana. Revolusi melawan otoritas relijius yang membelenggu pikiran melahirkan aliran agama dan pemikiran baru.
Bagaimana sikap dari pihak Gereka Katolik Sendiri? Salah satu respons pihak Gereja Katolik terhadap semua gerakan perlawanan itu menyebabkan tragedi kemanusiaan yang brutal di Eropa abad ke-15 sampai 17: perburuan penyihir, atau "witch hunt".
Pihak Gereja Katolik Roma membentuk lembaga yang disebut sebagai “Inquisitor”. Lembaga ini didirikan pertama kali pada abad ke-12 sebagai respons terhadap merebaknya ajaran Cathars di Perancis selatan yang dianggap merongrong otoritas Gereja. Paus Lucius III yang menyetujui dibentuknya lembaga tersebut atas masukan dari para biarawan di bawahnya pada tahun 1184. Cathars adalah sekte sempalan ajaran Kristen Katolik yang tidak tunduk pada otoritas Gereja Katolik Roma. Inquisitor akan mempersekusi siapa saja yang dicurigai sebagai penganut ajaran Cathars. Mereka akan ditangkap, dikurung, disiksa sampai mengakui kesalahannya, lalu dihukum mati. Paus Innocent IV sendiri yang mengeluarkan dekrit “Ad exrtirpanda” pada tahun 1252 yang melegalisasi penggunaan alat penyiksaan sebagai metode untuk mendapatkan pengakuan bagi penganut ajaran yang dianggap sesat.
Lembaga Inquisitor ini bertahan hingga ratusan tahun dan kini targetnya meluas. Selain para penganut ajaran Cathars, Inquisitor juga menyasar para pengaunt ajaran Waldensian, satu lagi aliran sempalan Kristen proto-protestan yang tidak tunduk pada otoritas Gereja. Metode persekusinya masih sama.
Tidak lama kemudian kelompok masyarakat yang disasar oleh Inquisitor ini tidak hanya kaum Cathars dan Waldensian, tapi meluas membabibuta orang-orang yang dituduh sebagai penyihir, dukun, atau diduga kuat mempraktikkan ilmu hitam. Semua yang terduga sebagai penyihir akan diciduk, disiksa agar mengaku sebagai penyihir atau dukun guna-guna lalu dibakar hidup-hidup di depan publik untuk menebar teror berkedok misi suci. Diprediksi sedikitnya ada 200 ribu korban misi perburuan penyihir di Jerman, Perancis, Inggris, Polandia, Spanyol, Portugis, Italia, dan Skandinavia. Mayoritas korban adalah wanita tua, kelompok masyarakat yang rentan dan "expendable". Fenomena ini sebenarnya aneh, sebab ajaran Kristen arus utama sebenarnya tidak mengakui eksistensi penyihir. Dari canon episcopi, dokumen ajaran Kristen abad ke-10 secara gamblang menolak keberadaan penyihir. Mereka yang mempercayai keberadaannya justeru dianggap sesat. Lalu kenapa sesuatu yang dianggap tidak ada belakangan dianggap ada dan menjadi target persekusi?
Skema persekusi yang sering terjadi adalah sebagai berikut, ada seorang wanita miskin yang terlihat mencurigakan, diciduk, dikurung, disiksa agar mengaku dirinya adalah seorang penyihir, kalau sudah mengaku baru dihadapkan pada proses pengadilan di mana ia diminta mengakui kebenaran pengakuan sebelumnya. Bagaimana kalau ia tidak mengaku? Ya siksa lagi. Penyiksaannya bisa beragam, digantung terbalik berhari-hari, dipotong kaki atau lengannya, diremukkan jari-jari kakinya, atau, dicabuti kukunya. Kalau di hadapan pengadilan mereka ia mengaku bahwa dirinya penyihir, maka ia akan langsung dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup di tengah pasar sebagai tontonan. Sebelum dieksekusi, ia ditanya dulu, siapa lagi kawannya sesama penyihir. Siapapun nama yang disebut oleh si wanita akan menjadi target persekusi berikutnya, tanpa proses investigasi apapun. Dengan demikian, siapapun bisa menjadi target persekusi Inquisitor. Penangkapan hanya dihentikan kalau kebetulan nama yang disebut adalah anggota keluarga bangsawan atau keluarga kerajaan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan kegilaan operasi perburuan penyihir Eropa pada abad ke-13 sampai ke-17. Di antara banyak teori itu, ada satu yang paling masuk akal. Operasi perburuan penyihir bertujuan untuk memecah belah rakyat Eropa yang semakin hari semakin merasa senasib hidup susah dan melarat di bawah penindasan otoritas Gereja Katolik Roma yang dekat dengan kaum elit Eropa. Dengan mengadakan operasi perburuan penyihir, secara tidak langsung Pihak Gereja menyampaikan pesan:
"Hidup Anda susah dan miskin? Barang dagangan Anda sepi? Panen Anda gagal? Itu pasti akibat guna-guna tetangga Anda yang bisa jadi seorang penyihir! Bukan salah kami dan para Raja yang korup dan tak becus mengurus negara. Di sini kami ada untuk membantu Anda menemukan dukun guna-guna itu. Mari kita bekerjasama memburunya!”
Mengapa yang disasar mayoritas wanita janda tua dan wanita dari kalangan keluarga miskin? Karena merekalah kelompok rentan. Wanita di zaman kuno adalah penduduk kelas dua, apalagi kalau statusnya janda dari keluarga miskin pula. Singkat kata, mereka “expendable”.
Rakyat yang awalnya mulai bersatu membentuk kelompok-kelompok perlawanan menjadi tercerai berai, saling curiga satu sama lain, antar tetangga saling melaporkan, saling merasa diteror, dan akhirnya memilih berdiam diri.
Sejarah seperti ini terjadi berulang kali di berbagai peradaban, tidak hanya di Eropa dengan Gereja Katoliknya. Pola tipu muslihat yang sama dilakukan oleh banyak elit politik di seluruh penjuru dunia sampai hari ini. Bentuk lembaga persekusi, adu domba, ciptakan teror, dan rasa saling curiga antar sesama anggota masyarakat agar mereka lupa siapa sebenarnya musuh besar yang menindas mereka. Mempelajari sejarah bukan hanya mempelajari masa lalu, tapi juga mempelajari perilaku manusia yang cenderung berulang mengikuti pola-pola tertentu yang bisa diprediksi. Dengan mengetahui bahwa pola-pola tertentu yang cenderung berulang, seharusnya kita bisa membebaskan diri dari siklus berulang seperti itu agar tak perlu lagi terjebak mengulang sejarah kelam yang sama. Bagaimana caranya? Tingkatkan literasi.
Seperti kata George Santayana, seorang filsuf abad ke-19 dari Spanyol, "Mereka yang tak pernah belajar dari sejarah, akan terkutuk untuk mengulanginya lagi."
PS: Foto di bawah adalah salah satu alat yang biasa dipakai untuk menyiksa para terduga penyihir yang umumnya wanita. Namanya adalah “Pear of Anguish”. Silakan gugel sendiri bagaimana cara kerja alat ini.
Komentar
Posting Komentar