Paradox Ajaran Kasih Apa Sebab

 


Ada pertanyaan menarik seseorang setelah membaca bagaimana kejamnya persekusi kaum relijius Eropa zaman pertengahan terhadap orang yang tertuduh sebagai penyihir, “Bagaimana ajaran yang penuh kasih bisa mendorong orang melakukan hal-hal yang kejam terhadap sesamanya? Kok rasanya tidak masuk akal”. Sebenarnya penjelasan tentang hal ini ada di tulisanku yang lalu tentang mentalitas “kami lawan mereka”.


Mau diakui atau tidak, manusia adalah makhluk sosial dan emosional, bukan rasional dan moral. Nenek moyang kita dahulu mampu bertahan hidup di lingkungannya dan menghadapi kompetisi dengan organisme lain karena mereka mampu bersosialisasi secara efektif. Dengan membentuk kelompok-kelompok sosial, mereka mampu untuk berburu, mengumpulkan makanan, atau menghalau pemangsa lebih efektif daripada kalau semua aktivitas itu dilakukan sendiri. Mereka yang memiliki kemampuan untuk bersosialisasi lebih baik memiliki kemampuan bertahan hidup lebih lama, memiliki anak lebih banyak, dan mewariskan sifat itu ke anak-anaknya. Sifat sosial adalah sifat yang terseleksi selama proses evolusi manusia. 


Sifat-sifat moral baru berkembang belakangan untuk menjamin kohesi antar individu dalam kelompok sosial yang sama, bukan kelompok sosial rival. Seperti misalnya sifat berbagi makanan dan menolong sesama itu muncul demi kepentingan internal kelompok. Seekor kelelawar vampir mau berbagi darah dengan sesama anggota kawanannya yang kelaparan karena sifat tersebut menguntungkan kemampuan menyintas kelompok secara keseluruhan, yang tentunya kemungkinan besar berbagi gen yang sama. Sifat proto-moral seperti itu dijumpai di banyak hewan sosial.


Lalu apa kaitannya dengan perilaku individu yang tampaknya kontradiktif dengan nilai-nilai moral yang diajarkan di dalam kelompoknya?


Mereka yang sudah tergabung ke dalam suatu komunitas sosial, mau itu partai politik, agama, sekolah, perusahan, kantor, desa, RT, atau negara, tak hanya menyerap identitas kelompok sebagai sesuatu yang melekat kepada dirinya tapi juga kecenderungan psikis untuk bertahan di dalamnya. Dorongan untuk bertahan di dalam kelompok sosial sifatnya naluriah seperti halnya naluri mencari makan dan bereproduksi. Hal ini menjelaskan mengapa perasaan dikucilkan dari pergaulan atau komunitas sosial adalah sesuatu yang menyakitkan bagi banyak orang. Hasil studi menunjukkan bahwa eksklusi sosial atau pengucilan memicu persepsi nyeri yang setara dengan nyeri fisik. Selayaknya dorongan untuk menghindari nyeri adalah sesuatu yang naluriah, dorongan untuk menghindari pengucilan juga adalah sesuatu yang naluriah. Pikirkan saja, seberapa sering kita menghindari perilaku tertentu bukan oleh karena salah-benarnya perilaku itu secara moral-rasional tapi lebih kepada “Apa kata orang nanti kalau saya melakukan hal itu?” 


Apa yang dilakukan orang untuk menghindari pengucilan?


Selain menyerap dan memakai atribut identitas sosial yang sama, mereka akan cenderung menyerap juga nilai-nilai, sikap, dan perilaku kelompok terlepas dari rasional atau tidaknya, etis atau tidaknya sikap dan perilaku itu. Kita melakukan hal itu semua semata karena ingin menghindari perasaan “sakit” karena dikucilkan. Dorongan naluriah kita untuk menghindari “nyeri” pengucilan lebih kuat daripada dorongan untuk bersikap dan berperilaku etis-rasional terhadap sesama. Kita semua tak jarang menjumpai bagaimana orang-orang yang mengaku relijius dengan segudang ajaran tentang welas asih, cinta, pengampunan dan pengorbanan, tapi tetap tega melakukan hal sadis terhadap orang lain di luar anggota kelompok mereka. Kita juga tak jarang melihat bagaimana ajaran agama tertentu menganggap orang di luar kelompoknya sebagai “subhuman”. 


Demonisasi kelompok lain, merendahkannya seakan bukan manusia adalah satu tahapan untuk melepaskan kekang moral yang menahan kita berbuat immoral terhadap orang lain. Hasil studi menunjukkan bahwa manusia lebih tega berbuat jahat kepada sesamanya yang telah dilabel sebagai hewan, benda mati, atau bukan manusia. Inilah yang disebut sebagai mentalitas “kita lawan mereka”. 


Memang kontradiktif, tapi sejak kapan manusia itu makhluk yang rasional dan konsisten? Menyandang predikat “sapiens” tidak semata membuat kita semua bijak sejak lahir. Beberapa orang menjadi bijak melalui proses pembelajaran yang panjang, sementara yang lain tetap berada dalam kondisi infantil seperti itu di sepanjang hidup. Lagipula label hanyalah label.

Komentar