Lahirnya sains modern tidak terlepas dari usaha masyarakat demokratis Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu doktrin agama dan yang tidak kalah pentingnya, sebagai perwujudan usaha manusia untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Kondisi krisis pangan memicu berbagai usaha manusia untuk bertahan hidup di segala aspek. Di aspek sosial, politik, dan ekonomi, krisis itu mendorong kaum bangsawan, borjuis, dan pedagang untuk melahirkan kapitalisme di Eropa, sedangkan di aspek spiritual, krisis yang sama mendorong mereka untuk melahirkan sains modern.
Seperti biasa, untuk bisa memahami bagaimana proses kelahiran sains modern, kita tidak bisa melepaskan pembahasan tentang sejarah kehidupan spiritual masyarakat Eropa zaman pertengahan. Kalau otoritas sosial dan politik masyarakat Eropa yang hidup dalam sistem feodalisme dipegang oleh para tuan tanah atau raja-raja vassal, maka otoritas spiritual mereka dipegang oleh para pastur dan biarawan dengan Paus di Vatikan sebagai puncuk pimpinan. Dalam strata sosial, posisi para pastur dan biarawan ini jelas berada di atas rakyat jelata. Mereka bahkan bisa duduk di dalam parlemen Inggris atau sebagai penasihat raja. Kata-kata mereka adalah pedoman hidup bagi kehidupan masyarakat luas di berbagai strata sosial.
Perasaan Anda tidak enak? konsultasikan ke pastur, siapa tahu itu teguran Tuhan buat Anda karena malas beribadah. Anda susah buang air besar selama berhari-hari? Datanglah ke pastur, siapa tahu Anda kerasukan setan sembelit. Maklum, di awal abad pertengahan, yaitu awal abad ke-5 sampai abad ke-12 M, biarawan adalah satu-satunya kelompok orang yang bisa baca-tulis, karenanya dianggap sebagi kaum cendekia. Ilmu kesehatan belum berkembang. Kalupun ada, ilmu kesehatan berasal dari karya-karya Galenus di zaman Romawi kuno atau Hipokrates dari Yunani kuno. Itupun tidak semua biarawan bisa mengaksesnya karena belum ada mesin cetak yang bisa mengkopi dan menyebarluaskannya. Hasil panen Anda kurang memuaskan? Segeralah minta pengampunan ke pastur, jangan-jangan itu hukuman buat Anda dari Tuhan atas dosa-dosa Anda. Toko kue Anda sepi? Segera minta doa pastur, karena jangan-jangan toko anda sudah diguna-gunai oleh tetangga Anda yang iri. Pendapat para biarawan, dalam hal ini pihak Gereja Katolik, adalah jawaban bagi semua problema hidup masyarakat Eropa zaman pertengahan. Anda cukup akrab dengan kondisi ini? Nah itu bukan hal baru. Pemuka agama, yang sekaligus kaum cenderkia, memainkan peran yang sangat penting dalam mempertahankan tatanan sosial masyarakat Eropa. Tidak heran kalau secara politis hubungan mereka dekat dengan para tuan tanah, raja vassal, atau raja superior.
Universitas-universitas yang didirikan di Eropa zaman dahulu didirikan dengan tujuan utama melahirkan kaum cendekia di bidang agama dan hukum. Oleh karena para cendekia itu erat hubungannya dengan penguasa, maka fungsi awal universitas adalah sebagai lembaga yang melegitimasi kekuasaan politik raja atau Paus, bukan sebagai lembaga yang menghasilkan terobosan cara berpikir dan teknologi. Universitas pertama di dunia adalah hasil evolusi dari sekolah yang disebut “studia generalia”. Ia dibangun pertama kali di Bologna, Italia pada tahun 1180. Fungsi utama didirikannya adalah untuk menghasilkan para biarawan dan ahli hukum serta administratif negara. Sejak didirikannya universitas itu apakah ada perubahan signifikan bagi kehidupan masyarakat Eropa? Tidak. Eropa di abad ke-12 adalah Eropa yang sama beberapa ratus tahun setelahnya. Mereka masih berpergian ke sana kemari naik kuda dan gerobak, pun juga produktivitas pertanian tidak mengalami perubahan drastis kalau tidak boleh dibilang stagan. Kontras sekali dengan kehidupan modern saat ini. Dalam satu abad terakhir saja tidak ada orang yang bisa membayangkan, bahkan dalam mimpi mereka yang paling liar sekalipun, mereka bakal bisa berpergian ke sana kemari dengan terbang naik kendaraan yang disebut pesawat atau berkomunikasi jarak jauh menggunakan “video call”, dan produktivitas pertanian meningkat gila-gilaan akibat perkembangan sains dan teknologi rekayasa genetika. Dari mana semua itu berasal? Dari para cendekia atau ilmuwan yang dihasilkan melalui proses pendidikan di sekolah dan di universitas modern.
Pertanyaan berikutnya adalah, kalau pihak Gereja bisa menduduki posisi yang penting dalam masyarakat karena menguasai “pengetahuan” yang tertuang di dalam Alkitab, mengapa masyarakat tidak bisa mempelajarinya sendiri dan memperoleh jawabannya dari sana? Mengapa harus bergantung pada pihak Gereja?
Pertama, masyarakat Eropa di zaman pertengahan rata-rata buta huruf. Meraih pendidikan bukanlah kebutuhan pokok mereka. Hanya anak bangsawan dan pedagang kaya yang rata-rata mendapatkan pendidikan. Kedua, mereka dilarang membaca dan menafsirkan isi Alkitab sendiri. Menafsirkan isi Alkitab adalah kuasa pihak Gereja. Bahasa Alkitab ditulis dalam bahasa latin, demikian juga dengan setiap penyelanggaraan misa di Gereja semua menggunakan bahasa latin, bukan bahasa masyarakat setempat. Secara politis hal ini penting. Kebebasan menafsirkan Alkitab oleh masyarakat bisa mengundang instabilitas politik. Kalau Alkitab dianggap sebagai sumber segala hukum dan pengetahuan oleh pihak Gereja yang punya hubungan dekat dengan raja, maka penafsirannya pun harus dimonopoli pihak Gereja. Pihak Gereja juga memonopoli peredaran pengetahuan tentang berbagai pemikiran filosofis di luar Alkitab, seperti misalnya filosofi Aristoteles yang mendominasi pemikiran para filsuf abad pertengahan. Para kaum terdidik yang membaca karya-karya Aristoteles bisa dituduh sebagai kaum sesat, karena itu banyak di antara kaum bangsawan terdidik yang membacanya diam-diam.
Bagaimana krisis di Eropa merobohkan semua tatanan itu?
Krisis terjadi di Eropa mulai sejak abad ke-11 sampai berabad-abad setelahnya dipicu oleh ledakan populasi, wabah “Black Death”, dan peralihan sistem feodalisme tradisional menuju monarki nasional yang kapitalistik. Ketidakseimbangan antara produksi pangan dan pertumbuhan penduduk menyebabkan harga gandum dan bahan pangan lain melonjak tinggi. Banyak rakyat jelata yang dulunya hidup makmur di pedesaan dengan mengandalkan hasil bumi kini harus menjadi buruh bagi para kapitalis dengan standar hidup yang sangat rendah di perkotaan. Kondisi hidup mereka yang miskin, lapar, dan mengenaskan sementara kaum borjuis dan pemuka agamanya hidup makmur bergelimang harta dan makanan, masih ditambah lagi dengan korupsi di pihak Gereja yang makin menjadi-jadi pasca wabah Black Death, mendorong masyarakat dan para cendekia untuk mulai mempertanyakan segala bentuk otoritas, termasuk di antaranya adalah otoritas Gereja.
Bagaimana wabah penyakit Black Death menyebabkan birokrat Gereja makin korup? Wabah Black Death pada tahun 1348-1352 menyebabkan kematian banyak orang termasuk di antaranya adalah para pemuka agama atau biarawan. Karena para pemuka agama juga adalah kaum cendekia yang dekat dengan penguasa politik, maka hilangnya orang-orang itu akibat kematian bisa membawa dampak bagi tatanan sosial. Untuk mengatasi hal itu, pihak Gereja merekrut banyak orang dengan melonggarkan prasyarat perekrutan tenaga pastur atau biarawan. Sudah bisa Anda duga bagaimana kalau posisi-posisi strategis dalam masyarakat diisi oleh orang-orang inkompeten, korupsi makin menjadi-jadi.
Sebagai respons terhadap kondisi seperti itu, banyak gerakan messianik-militeristik bermunculan di Eropa mulai abad ke-13 sampai abad ke-17. Disebut “messianik” sebab masing-masing pergerakan itu memiliki visi tentang kedatangan Sang Messias, yaitu Yesus Kristus. Disebut “militeristik” sebab pergerakan mereka bukan murni pergerakan spiritual tapi juga pergerakan militer menentang otoritas Gereja Katolik dan pihak-pihak lain yang bersekutu dengannya. Tergabung di dalam gerakan itu adalah kelompok masyarakat marjinal dalam hal sosial, ekonomi, maupun politik. Kemiskinan dan kelaparan di tengah kehidupan Gereja yang korup serta ekspansi agama Samawi kompetitornya, yaitu Islam, mereka maknai sebagai tanda-tanda akhir zaman yang diiringi kedatangan kembali Kristus. Mereka yang bisa baca-tulis mulai membaca Alkitab dan menafsirkannya sendiri lantas membentuk gerakan-gerakan perlawanan bawah tanah terhadap otoritas Gereja Katolik Roma. Salah satu buah dari perlawanan itu adalah lahirnya agama baru, sempalan dari agama Katolik Roma, yaitu Kristen Protestan, yang diinisiasi oleh Martin Luther di Jerman. Peristiwa ini disebut dengan Reformasi Gereja.
Fenomena Reformasi Gereja ini tidak bisa dilepaskan dari Revolusi Saintifik. Luther sendiri meminta masyarakat untuk menemukan kebenaran tentang Tuhan sendiri di dalam Alkitab dan melepaskan otoritas Gereja Katolik Roma dalam menafsirkan isi Alkitab. Sampai sini mungkin ada yang bertanya, “Loh bukannya hal itu sama saja dengan mengakui otoritas Alkitab sebagai sumber ilmu?”, Reformasi Gereja yang terjadi di Eropa bukan berusaha menggulingkan otoritas keyakinan Kristen tapi menggulingkan dominasi Gereja atas interpretasi isi Alkitab. Maka jangan heran mengapa ilmuwan-ilmuwan besar zaman dulu adalah orang-orang yang relijius, sedangkan ilmuwan-ilmuwan besar zaman modern rata-rata irelijius. Karena di Eropa zaman pertengahan, keyakinan agama bukan sesuatu yang membelenggu pola pikir pikir mereka, tapi otoritas dan monopoli interpretasi keyakinan agama itulah musuh besar mereka.
Lalu apa kaitannya semua itu dengan Revolusi Saintifik?
Salah satu cabang ilmu filsafat yang berkembang di kalangan cendekia Eropa kala itu adalah filosofi naturalis. Sudah menjadi keyakinan masyarakat Eropa di abad pertengahan bahwa alam adalah “buku Tuhan yang lain”. Dengan demikian mempelajari rahasia alam adalah salah satu bentuk ibadah. Dan ingat, Pihak Gereja tidak hanya mendominasi interpretasi atas Alkitab tapi juga melarang peredaran atau pengajaran filsafat-filsafat lain di luar filsafat Kekristenan. Oleh karena itu, merobohkan otoritas Gereja atas monopoli tafsir Alkitab tidak hanya akan membuka interpretasi baru tentang isi ajaran Kristen tapi juga membuka pintu pembelajaran tentang pemikiran para filsuf tentang alam di masa lampau yang sebelumnya dilarang oleh pihak Gereja.
Penemuan mesin cetak dan penggunaannya secara luas di Eropa abad ke-16 (berkat kapitalisme) semakin mempermudah penyebarluasan gagasan-gagasan filsafat di luar ajaran Kristen. Masyarakat Eropa akhirnya mengenal banyak tulisan filsuf-filsuf selain Aristoteles. Ada di antara mereka Plato, Socrates, Epicurus, Cicero, dan lain-lain. Sebuah kelompok cendekia dari Italia yang menamai dirinya “studia humanitatis” dan memfokuskan pembelajarannya pada ilmu humaniora di masa lampau mencetuskan dua prinsip penting yang menjadi dasar bagi berkembangnya filosofi naturalis, yaitu “viva activa” dan “pro bono publico”. “Viva activa” mengacu pada fungsi filsafat yang harus memiliki nilai pragmatis, dan “pro bono publico” yang berarti bahwa membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Dua prinsip ini mendasari perubahan paradigma filsafat sebelumnya yang lebih cenderung “viva contemplativa”, yaitu penggunaan filsafat yang cenderung retoris. Dalam bahasa awamnya, filsafat hanya dipakai sebagai alat “gedabrus” oleh para cendekia terdahulu, tanpa manfaat praktis yang signifikan.
Dari filosofi Plato para cendekia Eropa akhirnya belajar bahwa ilmu matematika dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sebelumnya ilmu matematika bukanlah ilmu yang dipandang penting dalam kehidupan masyarakat Eropa di luar kegunaannya dalam bidang ekonomi, pertukangan, dan administratif. Dari sini muncullah “perkawinan” antara filolosofi naturalis dengan matematika, salah satu hasil perkawinan itu adalah buku karya Galileo Galilei pada awal abad ke-17. Galileo menggabungkan kinematika gerak dengan filosofi naturalis dan menyebutnya sebagai ilmu baru tentang gerak yang membantah kinematika gerak menurut Aristoteles. Akibat tuilsannya ini Galileo dipersekusi oleh pihak Gereja dan dikurung seumur hidup karena dianggap menyesatkan. Titik monumental penting dari perkembangan filosofi natural dan matematika dalam sejarah sains adalah diterbitkannya buku “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica”, karya Isaac Newton, yang terbit pada tanggal 5 juli 1687. Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban, filsafat melahirkan suatu teori yang mampu memprediksi fenomena alamiah dengan akurat, obyektif, dan sistematis, bukan sekadar retorika. Sekadar info, Newton adalah ilmuwan besar yang relijius. Ke manapun ia pergi, Alkitab selalu ada di dekatnya. Ia menganggap Alkitab adalah sumber pengetahuan, tapi ia menolak doktrin trinitas Gereja Katolik.
Pembelajaran secara mandiri sebagai bentuk perlawanan otoritas Gereja juga mengarahkan masyarakat Eropa pada perkembangan filsafat empirisme. Dalam empirisme, pengetahuan bisa didapatkan melalui hasil observasi mandiri obyektif, dan bukan dari hasil pemikiran semata apalagi kata-kata otoritas. Filsafat seperti ini belakangan terwujud sebagai motto perhimpunan para ilmuwan kerajaan Inggris, “Royal Society”, berbunyi “nullius in verba” yang secara harfiah berarti “tidak hanya ada dalam kata-kata”, atau kalau dalam bahasa Jawa, “ora mung jarene.”
Revolusi Saintifik dan Reformasi Gereja adalah dua peristiwa yang menjadi tonggak dimulainya era Renaisans Eropa. Peristiwa seperti ini sangat mungkin muncul di dalam kehidupan masyarakat yang sejak awal demokratis, meskipun bukan berarti kemunculannya tidak mendapatkan reaksi penolakan yang keras dari para penguasa. Tapi poinnya adalah, sekuat apapun respons penolakan yang diberikan oleh pihak otoritas, arus perubahan itu tidak akan bisa dibendung, sebab baik Raja maupun Paus tidak memilki kuasa penuh terhadap pasokan pangan dan ekonomi bagi peradaban masyarakat Eropa, tidak seperti Kaisar dan Firaun di China dan Mesir. Tak butuh waktu lama bagi kaum kapitalis untuk melirik manfaat praktis dari filosofi naturalis. Nanti Aku jabarkan di postingan lain.
Komentar
Posting Komentar