.
Rujukan kita itu adalah WHO. Di awal pandemi, WHO menyatakan bahwa virus corona tidak menyebar di udara, namu belakang WHO merilis data bahwa virus corona bisa bertahan di udara atau yang disebut airborne. Karenanya WHO minta agar orang positip atau OTG ( asomtimatik) harus di karantina. Karena bisa menyebarkan virus kepada orang lain. Kita pun dipaksa harus pakai masker. Kawatir kalau ketemu orang OTG bisa menulari kita. Maklum OTG kata Pak Doni kemungkinan 70% di Indonesia. Jadi harus dikarantina. Pak Tirawan yang menolak masker jadi bahan ketawaan. Hoax. Kitapun menyiapkan Tempat Karantina di Wisma Altet dan membayar beberapa hotel yang bisa menjadi tempat karantina.
Tetapi setelah kita semua siapkan dengan ongkos yang tidak kecil, WHO merevisi pernyataanya, bahwa OTG tidak menyebarkan virus. Jikapun terjadi penyebaran, hal ini sangat langka. Penyebaran virus hanya melalui droplet orang yang sudah terinfeksi dengan gejala. karena logikanya orang sudah bergejala sampai bisa keluarkan dorplet, udah pasti engga bisa jalan, dan engga ketemu orang dech. Setidaknya dia tidur di Rumah atau sudah di RS. Bingungkan?. Lantas gimana dengan tempat karantina yang sudah dibangun? dan dibiayai oleh uang negara. Paksa orang pakai masker ?
Tetapi orangpun terus aja mencari pembenaran bahwa OTG beresiko menebarkan virus. WHO salah. Bahkan Harvard Global Health Institute membantah pernyataan WHO. Termasuk lembaga riset lainnya. Yang tadinya percaya WHO dianggap sains. Pak Tirawan diketawain. Tetapi ketika belakangan WHO berubah sikap seperti apa kata Pak Tirawan, mereka yang tetap mendukung WHO dianggap hoax. Bingungkan. Media massa terus aja benturkan satu sama lain. Tambah bingung.
Sekarang perhatikan. Setiap pernyataan WHO dan ahli selalu awalnya ilmiah tetapi ujungnya selalu “masih perlu diteliti kepastiannya”. Tapi judul berita sudah duluan menakutkan. Padahal isinya belum terkonfirmasi secara sains. Keadaan berubah ubah ini diakui pemerintah. Pak Mahfud mengakui kebijakan pemerintah dalam menangani Corona di Indonesia selalu berubah-ubah. Dia menyebut kebijakan mengikuti kondisi COVID-19 yang tidak bisa diprediksi. Dokter dan ahli juga menjawab sama. Lantas siapa yang paling benar? ya engga ada.
Jadi kesimpulannya apa yang dimaksud dengan HOAX?. Kalau berita terus mengabarkan kematian dengan beragam drama korban, tanpa mau juga menceritakan orang yang sembuh. Maka walau berita itu fakta, tetap saja HOAX kalau nuansanya menyimpulkan VIRUS COVID-19 sangat berbahaya dan mematikan bagi semua orang. Karena terbukti dari 2,88 juta kasus COVID-19, yang meninggal 73.582 (data dua hari lalu). Itu hanya 2,6% saja. Percis sama yang dikatakan Jokowi ketika awal pandemi.
Saya berharap media massa dalam memberitakan mengenai COVID-19 ini harus objektif. Pendapat WHO atau lembaga riset atau ahli tidak perlu diberitakan karena itu masih opini yang belum terkonpirmasi secara sains. Sebaiknya kampanyekan gaya hidup sehat lahir batin. Agar imun tubuh meningkat. Itu lebih efektif kalau tujuannya membantu masyarakat perang melawan COVID-19.
Komentar
Posting Komentar