Pajak tidak langsung

 

PPN, BM, PpnBM, Cukai adalah pajak tidak langsung. Anda kaya atau miskin , selagi ada melakukan transaksi terhadap barang atau jaya yang masuk katagori object pajak tidak langsung dan deal  kepada pihak yang terdaftar sebagai pengusaha kena pajak ya anda harus bayar pajak. Besar kecil tarif tergantung kebijakan pemerintah terhadap barang dan jasa itu. 


Umumnya beleid dari tarif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada waktu bersamaan mengendalikan inflasi dan daya saing. Memang tidak mudah. Karena pertumbuhan ekonomi butuh insentif pengurangan pajak, tapi akibat insentif bisa memicu konsumsi dan berdampak inflasi.  Barang impor akan banjir masuk sehingga daya saing domestik jatuh.


Memang pajak tidak langsung itu sama seperti pak ogah. Engga perlu capek, lewat ya bayar. Beda dengan pajak langsung berupa pajak penghasilan. Itu butuh well management petugas pajak. Kinerja negara diukur dari tax rasio. Semakin tinggi tax rasio semakin hebat. Mengapa ? Karena itu dipegaruhi dari tarif pajak,  tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik . Disamping itu, tax rasio meningkat karena tingginya tingkat kepercayaan rakyat kepada negara, dan itu biasanya tingkat korupsi juga rendah.  


Juga dipengaruhi oleh faktor kesamaan persepsi terhadap idiologi negara dan pahan kemana arah negara akan dibawa. Jadi antara pemerintah sebagai petugas pajak dan rakyat sebagai pembayar saling melengkapi untuk kemakmuran negaran. Di negara maju, umumnya beleid tarif pajak tidak langsung efektif sebagai instrument kebijakan makro ekonomi karena tax rasio mereka tinggi sekali. 


Yang jadi miris di negeri ini adalah tax rasio dari tahun ketahun terus turun. Misal tahun 2013 sebesar 13,6 persen. Kemudian turun lagi pada tahun 2014 dan 2015 sebesar masing-masing 13,1 persen dan 11,6 persen. Tahun 2016 turun lagi, tercatat hanya 10,8 persen. Turun lagi menjadi 10,7 persen di 2017. Pada 2020, rasio pajak turun lagi menjadi 8,94% persen dan ditargetkan meningkat menjadi di 2021. Entahlah dengan adanya kenaikan tarif pajak PPN Apakah memang efektik meningkatkan pajak rasio.


Yang miris lagi adalah indikator tax buoyancy yang juga melemah. Tax buoyancy Indonesia selama 1 dekade terakhir hanya 0,83. Artinya, pertumbuhan PDB 1% hanya berakibat bagi pertumbuhan penerimaan pajak rata-rata sebesar 0,83%. Artinya respons atau elastisitas penerimaan pajak terhadap kondisi ekonomi yang direfleksikan oleh pertumbuhan ekonomi tidak ada korelasinya dengan pertumbuhan penerimaan pajak.


Saran saya, sebelum meningkatkan tarif pajak PPN, ada baiknya efisiensi anggaran harus ditegakan. Ambil contoh DKI ajalah. Bisa engga ditertipkan APBD nya. Itu didepan mata. Juga kalau bisa anggaran rutin belanja pegawai pangkas sampai 30%. Dengan efisiensi tinggi itu, akan mendorong partisipasi rakyat untuk mau terlibat secara tidak langsung mengatasi defisit anggaran. Pajak tidka langsung naik juga engga ada masalah. Karena rakyat sudah merasakan keadilan.


Juga jangan lupa, index persepsi korupsi juga harus diperbaiki. Rilis CPI 2020 dari TI memperlihatkan skor CPI Indonesia dari 40 pada tahun 2019 turun menjadi 37, yang kemudian menempatkan Indonesia pada urutan ke-102 dari 180 negara. Dan semua indikator drop. Global Insight merosot hingga 12 poin; PRS merosot 8 poin; IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, PERC Asia turun sebesar 3 poin dan Varieties of Democracy yang juga turun 2 poin dari tahun lalu.  Ya berbenah kedalam sebelum bicara keluar. itu aja.

Komentar