Dalam tulisan sebelumnya, kami sudah membahas dampak dari kampanye anti investasi hidrokarbon terhadap peran strategis gas bumi sebagai sumber energi dimasa transisi. Namun demikian dengan berkurangnya investasi di hulu migas akibat tekanan dari Lembaga keuangan dunia, maka percepatan untuk mengkonversi PLTU menjadi PLTG terancam tidak bisa terlaksana.
Dapat kami sampaikan bahwa tekanan untuk memangkas investasi di hidrokarbon tidak hanya berasal dari lembaga keuangan dunia. Beberapa major oil companies seperti ExxonMobile, Chevron dan Shell juga mendapat tekanan dari pemegang saham mereka sendiri.
Strategi jangka panjang dari Chevron untuk berpartisipasi dalam mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim tidak disetujui oleh pemegang saham mereka (lost shareholder votes). Bahkan Shell harus bertarung di pengadilan Belanda untuk mempertahankan rencana percepatan pengurangan gas emisi mereka.
Berbagai tekanan yang dihadapi oleh major dan independent oil companies harus dimaknai dengan lebih bijaksana. Efektifkah tekanan itu dalam mempengaruhi cara bisnis perusahaan migas dunia? Apa dampaknya terhadap kegiatan hulu migas? Mari kita analisa satu persatu.
Untuk keluar dari berbagai tekanan, salah satu cara yang mungkin ditempuh oleh perusahaan migas dunia (misalnya perusahaan A) adalah dengan menjual lapangan migas mereka kepada perusahaan B. Dengan cara ini portfolio migas milik perusahaan A menjadi mengecil dan kemudian memperbesar portfolio di renewable energy.
Sepintas usaha menjual aset ini mudah untuk dilakukan. Apakah benar seperti itu? Pertanyaannya darimana perusahaan B mendapatkan dana untuk membeli aset perusahaan A ini? Bukankah lembaga keuangan dunia, private equity companies dan beberapa investment bank sudah tidak mau lagi mendanai investasi hulu migas?
Adakah perusahaan yang mampu membeli aset hulu migas tanpa harus meminjam kepada pihak lain? Kalaupun ada tentu tidak banyak. Persaingan untuk menjual aset kepada perusahaan seperti ini menjadikan transaksi itu tidak mudah dilakukan.
Seandainya perusahaan B punya modal sendiri, apakah mereka tidak akan mendapat tekanan dari shareholdernya, yang mungkin tidak sepakat dengan langkah untuk membeli aset perusahaan A?
Kalaupun pendanaan dan persetujuan shareholder sudah didapatkan, seberapa yakin kita bahwa komitmen perusahaan B untuk mengelola aset hulu migas akan lebih baik daripada perusahaan A dalam hal mengurangi emisi carbon? Jangan sampai penjualan aset perusahaan A ke perusahaan B hanya memindahkan persoalan, bukan menjadi solusi yang diharapkan. Bahkan kondisi bisa lebih buruk jika perusahaan B tidak punya komitmen yang sama seperti perusahaan A.
Selain faktor pendanaan dan komitmen dari perusahaan B, kita juga harus melihat sisi penguasaan teknologinya. Apakah mungkin perusahaan B punya teknologi yang mampu mengurangi emisi carbon dalam menjalankan kegiatan hulu migas mereka? Salah satu teknologi yang dimaksud adalah Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Hingga saat ini tidak banyak perusahaan yang menguasai teknologi ini.
Singkatnya, perusahaan migas dunia yang kini mendapat tekanan dari lembaga keuangan dan pemegang sahamnya untuk keluar dari bisnis hidrokarbon akan menghadapi banyak kendala. Tidak mudah mengalihkan aset migas ke perusahaan lain. Pendanaan, komitmen dan teknologi akan sangat menentukan sejauh mana sebuah aset migas bisa dijual dan di kelola sesuai keinginan pemegang saham yang berorientasi pada zero emisi di 2050.
Semoga kita selalu berhati-hati dalam membuat strategi energi jangka panjang.
Komentar
Posting Komentar