Penyebab Kegemukan yang Sebenarnya

 Kalau berbicara hubungan diet dan obesitas beserta penyakit kronis lain, umumnya orang hanya membahas kalori dan komposisi makronutrien. Ada yang menyebutkan bahwa obesitas disebabkan oleh asupan kalori berlebih dan/atau kekurangan aktivitas fisik. Ada pula yang mengatakan bahwa obesitas erat kaitannya dengan komposisi makronutrien dalam makanan. Untuk urusan yang terakhir ini belakangan menjadi bahan perdebatan yang hangat di antara para simpatisan diet rendah lemak versus simpatisan diet rendah karbohidrat. Tampaknya riset-riset mutakhir menyebutkan bahwa diet rendah karbohidrat lebih unggul, atau setidaknya sama baiknya, daripada diet rendah lemak. Diet rendah karbohidrat berdiri di atas hipotesis karbohidrat-insulin sebagai penyebab obesitas. Asupan karbohidrat yang terlalu banyak akan menyebabkan peningkatan kadar insulin. Selanjutnya kadar insulin yang tinggi akan menggeser seting metabolisme lebih ke arah penyimpanan lemak daripada pembakaran, dan dari sini obesitas berasal. Jadi asupan karbohidrat yang tinggi secara tidak langsung menyebabkan kondisi obesitas dengan meningkatkan produksi insulin dalam tubuh. 



Tapi sayangnya, hipotesis ini tetap tidak bisa menjelaskan secara keseluruhan mengapa kadar insulin sebagian orang tetap saja tinggi meskipun nyatanya ia mengkonsumsi sedikit sekali karbohidrat. Hipotesis ini juga tidak menjelaskan mengapa tidak semua orang berhasil menjalani diet rendah karbohidrat. Ada satu fakta yang tampaknya lolos perhatian, yaitu bahwa kadar insulin yang tinggi, atau hiperinsulinemia, tidak semata disebabkan oleh asupan karbohidrat yang tinggi tapi juga oleh sebab terjadinya resistensi insulin pada jaringan tubuh kita. 


Apa itu resistensi insulin? 


Resistensi insulin sebenarnya adalah sebuah konsep teoretik tentang abnormalitas respons jaringan tubuh terhadap hormon insulin. Resistensi insulin terjadi ketika  jaringan tubuh kita, umumnya jaringan otot dan lemak,  “kebal” terhadap insulin. Dalam kondisi normal insulin berfungsi untuk mendorong agar gula darah, hasil penyerapan karbohidrat dalam saluran pencernaan, masuk ke dalam sel otot atau lemak. Namun oleh beberapa sebab, kemampuan insulin untuk mendorong gula darah masuk ke dalam sel berkurang. Tubuh kita memerlukan lebih banyak insulin untuk memasukkan gula darah dengan kosentrasi yang sama dari luar sel ke dalam sel. Untuk mengkompensasi kebutuhan insulin yang meningkat, sel beta pankreas memproduksi dan mengeluarkan lebih banyak insulin, dan inilah yang disebut hiperinsulinemia. Dari sini jelas bahwa hiperinsulinemia tidak melulu disebabkan oleh asupan karbohidrat yang tinggi, tapi yang paling penting adalah adanya kondisi resistensi insulin.


Lalu apa yang menyebabkan resistensi insulin? 


Sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ilmuwan tentang faktor apa saja yang berkontribusi terhadap munculnya resistensi insulin. Di antara banyak faktor, ada satu faktor penting yang selalu ditemukan berkaitan erat dengan resistensi insulin, yaitu inflamasi atau peradangan. Korelasi antara inflamasi dan resistensi insulin ini sedemikian kuat dan konsisten hingga boleh dikatakan bahwa inflamasi menyebabkan resistensi insulin. Inflamasi yang sama juga berkontribusi besar dalam pembentukan plak aterokslerosis penyebab penyakit jantung dan stroke. Inflamasi juga erat kaitannya dengan kanker, autoimun, alergi, hingga autisme. 


Kalau berbicara tentang inflamasi atau peradangan, jangan membayangkan kaki yang bengkak, mata bintitan, atau sakit tenggorok. Peradangan di sini mengacu pada kadar zat-zat penyebab radang (mediator inflamasi dan sitokin) yang tinggi di dalam darah. Mediator inflamasi dan sitokin diproduksi oleh sel darah putih sebagai respons adanya penginduksi inflamasi (inflammation inducers) berupa antigen (yang secar kolektif disebut dengan Pathogen-Associated Moleculer Patterns, PAMPs) atau sinyal-sinyal kerusakan seluler (atau Damage-Associated Molecular Petterns, DAMPs). Setiap kali sel darah putih kita terpapar oleh antigen (PAMPs) ia akan memproduksi mediator inflamasi dan muncul gejala inflamasi. Inflamasi ini penting bagi tubuh kita sebab ia membantu mengeliminir antigen asing atau agen infeksius yang berbahaya bagi sel tubuh kita, tapi di sisi lain jika terjadi berlebihan dan berkepanjangan akan menyebabkan berbagai kerusakan fungsi tubuh.


Dari mana sumber PAMPs yang menyebabkan terjadinya inflamasi?


Hasil studi mutakhir menyebutkan bahwa saluran pencernaan kita adalah sumber PAMPs dalam bentuk Lipopolisakarida (LPS), yang dapat mendorong terjadinya inflamasi terus menerus. LPS adalah lapisan “kulit” bakteri gram negatif yang ada di dalam saluran pencernaan kita. Semakin tinggi kadar LPS di dalam darah, maka semakin tinggi pula mediator inflamasi yang diproduksi dan dikeluarkan oleh sel darah putih. Semakin tinggi mediator inflamasi, maka semakin parah resistensi insulin yang terjadi. Hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang menderita diabetes mellitus tipe 2, yang erat kaitannya dengan resistensi insulin dan juga obeistas, ternyata memiliki kadar LPS dalam darah mencapai 66,4% lebih tinggi daripada orang normal. Pada mereka yang menderita diebetes mellitus tipe 1, salah satu bentuk penyakit autoimun, angka itu lebih parah lagi, yaitu mencapai kadar LPS 235,7% lebih tinggi daripada orang normal. Tikus atau mencit yang mendapatkan infeksi LPS terus menerus ke dalam sirkulasi darahnya akhirnya mengalami kenaikan berat badan yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Tingginya kadar LPS di dalam darah ini disebut dengan istilah “metabolic endotoxemia”.


Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana ceritanya LPS bisa “bocor” masuk ke dalam sirkulasi darah padahal dinding saluran pencernaan kita sudah “terdesain” sedemikian rupa agar hanya meloloskan partikel zat gizi berukuran kecil, bukan antigen berukuran besar seperti LPS? Bagaimana peran bakteri komensal sehubungan dengan kadar LPS dalam darah?

Komentar