Pada tahun 1989, Laboratorium Reston, Virginia, AS, mendapatkan kiriman monyet pemakan kepiting (Macaca fasicularis) dari Luzon, Filipina. Setiba di Reston, sekelompok monyet tersebut ditemukan telah mati oleh penyakit yang menyebabkan perdarahan hebat. Berhadapan dengan hal itu, dengan segera pihak militer yang tergabung dalam United States Medical Research Institute of Infectious Disease (USMRIID) mengkarantina dan mensterilisasi bangunan laboratorium di Reston.
Penyakit pada monyet itu disebut dengan Simian Hemorrhagic Fever (SHFV) dan virus penyebabnya disebut Reston Virus. Reston Virus (RESTV) masih satu genus dengan Ebola, sebab itu memiliki nama latin Reston ebolavirus. Tidak ada yang tahu bagaimana ceritanya varian Ebola ini bisa ditemukan pada populasi monyet dari Filipina. Varian Ebola sebelumnya ditemukan di Afrika tengah, demikian juga varian-variannya tidak jauh-jauh dari Afrika Tengah. Hal yang lebih mengerikannya lagi, Reston ini tidak menular seperti layaknya ebola, yaitu melalui perantara benda-benda yang sudah terkontaminasi dengan cairan tubuh penderita, tapi melalui droplet di udara! Untungnya, sampai saat ini RESTV belum pernah ditemukan menyebabkan penyakit pada manusia. Spesies yang peka adalah monyet dari Filipina meski pada tahun 2008 ditemukan juga pada tubuh babi.
Pakar virologi berpendapat bahwa RESTV yang ada di dalam tubuh babi berpotensi mengalami mutasi dan dapat menyebabkan penyakit yang mematikan pada manusia di masa depan. Sampai sekarang tidak ada yang tahu dari mana asal-usul RESTV, dan apa kemungkinan binatang yang dapat menjadi reservoir bagi virus ini. Beberapa spekulasi mengatakan bahwa, lagi-lagi, kelelawar adalah reservoir bagi virus ini.
Kelelawar adalah binatang yang kerap berperan sebagai reservoir bagi banyak virus yang berpotensi menyebabkan wabah, mulai dari Marburg Virus, Nipah Virus, Hendra Virus, Ebola Virus, Kyasanur Forest Virus, Menangle Virus, Tioman Virus, Australian bat Lyssavirus, dan yang terakhir SARS-CoV2 penyebab COVID-19.
Mengapa kelelawar? Ada beberapa alasan yang diajukan oleh para pakar biologi untuk menjelaskan mengapa kelelawar adalah reservoir yang ideal bagi banyak virus. Pertama, usia spesies kelelawar ini sangat tua dibandingkan mamalia lain. Fosil kelelawar ditemukan pada lapisan tanah berusia 50 juta tahun yang lalu. Mereka sudah terbang ke sana kemari di muka bumi sebelum manusia pertama menginjakkan kakinya di muka bumi. Usia spesies mereka yang sedemikian tua memberikan waktu yang cukup bagi tubuh mereka untuk mengembangkan kekebalan terhadap hampir semua macam virus. Virus bisa hidup dan bereplikasi di dalam tubuh mereka, tapi tidak menyebabkan mereka sakit.
Kedua, kelelawar adalah makhluk hidup sosial. Mereka hidup bergerombol dalam jumlah yang besar, mencapai ribuan hingga jutaan. Agar suatu makhluk hidup bisa menjadi reservoir bagi agen infeksius mikroparasit, mereka harus memiliki karakter sebagai organisme sosial dengan jumlah individu dalam komunitas mencapai titik tertentu yang disebut dengan “critical community size”, yaitu sebesar 250.000 individu. Ukuran komunitas yang terlalu kecil akan dengan mudah menyebabkan penyakit punah, sebab sekalinya menyebabkan infeksi letal, terlalu kecil peluang munculnya individu yang bisa berperan sebagai “carrier” namun sendirinya tidak sakit.
Ketiga, kelelawar adalah spesies mamalia dengan jumlah terbanyak. Seperempat dari total jumlah spesies mamalia di bumi adalah kelelawar. Jadi kalaupun ada agen infeksius baru yang muncul, peluang spesies kelelawar untuk menjadi reservoirnya lebih besar dibandingkan spesies-spesies mamalia lain.
Keempat, kelelawar dapat terbang dalam radius berkilo-kilometer dalam semalam. Hal ini meningkatkan peluang mereka mendapatkan virus dari lingkungan sekitar dan menjadi reservoir baginya.
Komentar
Posting Komentar