Bandara kertajati, adalah kegagalan otonomi daerah.
Saya mengikuti proses pembangunan Kertajati. Bandara itu dibangun merupakan hak inisiatif dari Pemda. Kala itu Gubernur Jawa Barat adalah R. Nuriana . Alasanya penduduk Jawa Barat itu 6 kali penduduk Singapore, Seharusnya punya bandara sendiri. Usulan itu ditindak lanjuti dengan membuat Studi kelayakan. Tahun 2005, hasil studi menetapkan lokasi Bandara di Kecamatan Kertajati Majalengka. Pemerintah pusat setuju dengan Keputusan Menteri Perhubungan bernomor 5 tahun 2005.
Mengapa harus di Majalengka ? Secara demografis Majalengka dinilai merupakan titik temu perlintasan dari berbagai daerah pusat ekonomi seperti Bandung, Karawang dan Jakarta. Berjarak sekitar 80 kilometer dari Bandung atau 180 kilometer dari Jakarta dianggap masuk dalam rencana strategis pemerintah mengembangkan potensi ekonomi di tiga kawasan Jawa Barat.
Studi kelayakan itu kemudian membawa pada sebuah keputusan menteri Nomor 34 tahun 2007 tentang penetapan Master Plan BIJB. BIJB masuk dalam rencana strategis pembangunan. Keputusan menteri kemudian dijadikan bekal Pemprov Jabar untuk memulai melakukan pembebasan lahan pada 2009 lalu. Yang dibutuhkan 1.800 hektare. Berikut akan dibangun juga aerocity sebagai Kawasan aetropolis yang menunjang operasional bandara seluas 3.480 hektare. Pembebasan lahan dimasa kepemimpinan Ahmad Heryawan ( dari PKS) sebagai gubernur dilakukan secara bertahap.
Anggaran pembebasan lahan dari Provinsi. Sementara membuat runway atau landasan pacu pada 2013 dari APBN. Namun yang jadi masalah, Bandara itu bukan hanya tanah dan landasan pacu, tetapi juga perlu ekosistem seperti taxi way, apron berikut dan instrument , Air Traffic Control (ATC). Nilai investasi untuk kebutuhan sisi udara ini menelan Rp 1,01 triliun. Dari mana duitnya? Belum lagi untuk terminal yang butuh dana Rp 2,6 triliun. Nah Pemrov Jabar membentuk BUMD atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 22 Tahun 2013. Namanya PT BIJB ( Bandara international Jawa Barat).
Pemrov jabat gandeng PT Jasa Sarana untuk investasi di bandara. Porsi saham pada PT. BIJB mayoritas dikuasai oleh Pemrov Jawa Barat, PT Jasa Sarana minoritas. Investasi keluar sebesar Rp 808. Nah di era Jokowi. Jokowi minta agar Meneg BUMN mencari solusi pembiayaan untuk BIJB. Terjadi perbedaan paham antara Pemrov Jabar dengan BUMN Angkasa Pura. Angkasa Pura tidak setuju dibangun langsung besar dan Angkasa pura minta otoritas penuh mengelola bandara itu. Tetapi ditolak oleh Pemrov Jabar. Stuck. Jokowi juga engga mau keluarkan dana dari APBN untuk proyek ini.
Karena Gubernur Jawa barat dari PKS, dia cari solusi pembiayaan melalui pinjaman dari konsorsium bank syariah senilai Rp 906 miliar. Bank tersebut yakni Bank Jateng Syariah selaku lead sindikasi, Bank Sumut Syariah, Bank Jambi Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Kalsel Syariah, Bank Kalbar Syariah dan Bank Sulselbar Syariah. Exitnya melalui penerbitan RDPT ( reksadana penawaran terbatas. Tetapi engga ada investor tertarik. LBP minta agar BUMN berpartisipasi namun skemanya RDPT convert dengan saham PT. BIJB. Sehingga Jokowi bisa ikut meresmikan groundbreaking pembangunan terminal.
Ternyata setelah terminal terbangun. Pemrov Jawa Barat engga ngerti bagaimana mengelola Bandara secara bisnis. Karena phase pertama gagal mendatangkan cashflow ,maka phase berikutnya bangun Aeorcity juga engga ada yang mau jadi investor. Jadi Bandara Kertajati itu adalah bukti kegagalan otonomi daerah. Mengapa ? lack knowledge dan kurang literasi keuangan dan bisnis berskala besar apalagi proyek jasa yang berkaitan dengan publik.
Jadi apa solusinya? PT. BIJB harus lepas saham kepada investor yang punya skill bisnis bandara. Namun lagi lagi terbentur peraturan bahwa Perusda tidak bisa lepas 100% saham. Dalam kondisi merugi, apa ada investor yang mau masuk tanpa menjadi pemegang saham pengendali. Ya engga ada. Yang disalahkan Jokowi.
Komentar
Posting Komentar