omnibus law dan rendahnya mutu intelegensia masyarakat (4):
pendidikan di Indonesia: gengsi di atas ensensi.
Saya menulis seri ini bermula dari kejengkelan saya melihat banyaknya orang yg lebih mengandalkan batu dan pembakaran milik orang lain atau umum dari pada berargumen logis. Ini dipicu dari demo utk menentang omnibus law, tapi sekali lagi saya tidak berfokus pada omnibus law-nya sendiri, tapi ketidakmampuan sebagain masyarakat kita yg terdidik sakalipun utk berargumen di alur logika. Saya berpendapat bahwa ini adalah salah satu kegagalan sistem pendidikan kita selama berdekade berdekade utk mencetak sumber daya manusia yg bermutu.
Saya tidak menunjuk siapa yg salah, ini salah kita semua sebagai bangsa, tentunya termasuk saya sendiri.
Karena saya seorang peneliti dan dosen saya akan menyoroti dari sudut pendidikan tinggi, khususnya dibidang saya: teknik.
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia, hancur lebur. Universitas menjamur, tapi sebagian besar adalah apa yg di dunia disebut "diploma mill”. Artinya institusi yg menghasilkan ijasah tanpa esensi. Ijasah bukan sebagai representasi skill tapi sebagai representasi gengsi. Ini karena di semua tingkat pendidikan di Indonesia mutunya ecek-ecek. Pendidikan berkisar pada menghapal bukan mengerti. Pendidikan bukan utk menanam skill dan knowledge tapi utk lulus ujian. Karena keecek2-an ini, orang menjustifikasi bahwa dia terdidik bukan melalui pengetahuan dan skill nya tapi melalui ijasah dan gelarnya. Dan ini makin lama makin parah, orang tidak puas lagi dengan ijasah S1 nya, dan perlu utk punya ijasah S2 dan S3. Ini membuat menjamurnya diploma mill di Indonesia. Universitas melonjak jumlahnya, tapi tidak diikuti oleh peningkatan mutu sumber daya manusia. Saya kadang bertemu dengan dosen bergelar S3 di universitas bergengsi di Indonesia yg skill ada dibawah mahasiwa semester ke 4 saya.
Ada banyak cara utk menilai mutu pendidikan tinggi. Yg berhubungan dengan mutu sumber daya manusia yg dihasilkannya adalah employability. Seberapa lakunya orang itu di tingkat global.
https://www.topuniversities.com/university-rankings/employability-rankings/2020
Ranking pertama di dunia, dipegang oleh MIT, ini artinya alumniya "dicari" di level dunia. Juara di Asia adalah Tsinghua Univ. di China yg ada di rangking 6 ! University of Tokyo ada di ranking 23. Juara di Asean adalah National University of Singapore di ranking 24, Seoul National Univ. ada di rangking 28, National Taiwan Univ. (58), University Malaya (140-151). Ingat negara2 Asia ini merdeka kira2 di masa yg sama dengan kita. China lebih parah lagi, revolusi budaya mereka menghancurkan sistem pendidikan tingginya. Tapi lihatlah di mana mereka sekarang, di mana kita.
Univ.2 negeri teratas kita ada di level antah berantah. Kenapa ini penting ? Karena dunia sudah "terhubung". Sulit utk makan kalau kita cuma jadi jago kandang. Krisis corona ini menunjukkan kalau dalam bidang2 tertentu, working from home efisien, dan home tidak perlu ada di dalam negara yg sama. Kalau industri bisa mempekerjakan orang dengan skill dan knowledge yg baik meskipun orang itu berada di luar Indonesia, kenapa harus memperkerjakan orang Indonesia yg cuma punya ijasah ? Tidak sulit utk menyadari bahwa kita harus bersaing dengan orang lain, meskipun kita berada di negara sendiri.
Lalu dari mana kita harus memperbaiki kondisi ini. Kalau saya boleh mengusulkan, kita bisa memulainya dari meningkatkan mutu pendidikan kejuruan dan mengembalikan misi dan meningkatkan mutu politeknik. Saya rasa misi awal politeknik sangat baik. Misi mereka adalah utk mendidik orang dibidang teknik terapan modern dan menyokong industri sekelilingnya. Anehnya, pengambil kebijaksanaan pendidikan merusak misi ini dengan mengharuskan dosen2 poltek utk menelurkan makalah ilmiah di jurnal internasional. Dengan adanya kebijakan ajaib ini, misi semula terbengkalai, mereka melakukan mission impossible yg akan tetap impossible, dan cuma menghasilkan paper ecek2, pokoknya scopus. Ini tidak berkontribusi utk apa2, kecuali gengsi kosong yg amat sangat bodoh.
Perbaikan mutu pendidikan kejuruan dan politeknik dilakukan dengan biaya berapapun dan cara apapun. Peningkatan mutu di level ini akan memberi pressure pada universitas. Mereka harus bersaing dengan orang2 yg tidak punya gelar tapi punya skill. Akan terjadi domino effect, di level S2 dan S3.
Indonesia tidak kekurangan orang pintar, yg kita tidak punya, sistem pendidikan dengan visi yg tidak ecek2.
Jalur bagi orang2 kompeten harus selalu terbuka utk melanjutkan jenjang pendidikannya, dan meningkatkan kompetensinya. Univ. harus membuka julur utk tamatan sekolah kejuruan dan politeknik.
CSR dari perusahaan, sebagian besar dialihkan utk membiayai pendidikan lanjutan pekerjanya. Pekerja yg tamat SMA dibiayai utk melanjutkan ke politeknik dan seterusnya. Sebelum bekerja di akedemia, saya bekerja sebagai engineer di satu perusahaan electronik terbesar di Jepang. Ini yg mereka lakukan, mereka tidak hanya menghasilkan produk electronic dan membayar pajak bagi negaranya, tapi juga berkontribusi utk meningkatkan mutu manusia di negaranya.
Utk itu kita harus mulai sadar bahwa gengsi tidak boleh berdiri di atas ensensi.
Komentar
Posting Komentar