Demo mendatangkan berkah.
Selama ini social distance yang ditetapkan oleh WHO sebagai standar protokol mengatasi penyebaran COVID-19. Namun di jantung kelahiran WHO di AS, spirit WHO untuk kesehatan dengan mengekang kebebasan orang, diluluh lantakan oleh aksi demo di AS dan berujung kerusuhan rasial. Di Eropa juga terjadi aksi demo bergelombang. Di Indonesia kaum terpelajar juga turun ke jalan soal UU Cipta kerja. Berita covid dan protokol kesehatan yang sakral, hancur berkeping keping oleh aksi demo itu. Kekuatan politik yang selama ini berlindung dari COVID-19, seakan diejek habis oleh aksi massa.
Abas yang tadinya memanfaatkan kasus COVID-19 untuk meningkatkan citra politiknya lewat wajah keprihatinan dan keberpihakan, malah memuji demontran. Tidak marah walau fasilitas umum hancur. Diapun hadir bersama demontran. Abas sudah lupa PSBB ketat. Sudah lupa SK PSBB transisi. Sudah lupa restoran dan bar yang dipaksa ditutupnya. Aksi demo bukan hanya ada di Jakarta tetapi beberapa kota di Indonesia. Pemda pun tak lagi semangat membahas soal standar protokol COVID19. “ Pesta usai sudah. Karena engga ada duitnya turun dari pusat” kata mereka. Gebyar soal kedatangan Vaksin akhir tahun tidak lagi terdengar.
Covid datang dari China, dan China kini sudah menikmati kebebasan. Bahkan mereka tak ingin lagi mengulang drama Lockdown atau social distance. Politik selalu punya cara agar orang ramai tergantung kepada negara, entah karena idiologi atau karena rasa takut by design lewat propaganda. Agar ada excuse menciptakan stimulus ekonomi. Agar kegagalan pasar menciptakan keseimbangan mendapat tempat dimaafkan. Selanjutnya economy adjustment terjadi sebagai konsekwensi perubahan besar di paruh abad 21.
Cerita tentang drama kolosal sepanjang sejarah berjudul Covid -19 akan berakhir oleh politik. Karena dia hadir juga berkat politik.
Komentar
Posting Komentar