Film Oscar Tahun Ini

Kalau tahun ini Oscar untuk film  terbaik diberikan pada1917, saya rela. Lahir batin moril materil jiwa raga! Ini film yang indah, benar-benar indah. Membuat saya sempat bingung: ini sedang nonton film atau lagi main Instagram ya?

Cerita bermula saat dua orang kopral, Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Will Schofield (George MacKay) diberi tugas mematikan oleh Jendral Erinmore. Mereka diperintah mengantar surat ke Kolonel MacKenzie agar batalyon kedua tentara Inggris dari Resimen Devonshire membatalkan rencana penyerangan, meski Jerman telah menarik mundur pasukannya. Jerman sebenarnya sedang memancing mereka masuk dalam jebakan agar kemudian artileri mereka akan menghabisi Inggris.

Saat itu jaringan field telephone sudah diputus. Satu-satunya cara menyampaikan pesan hanya dengan mengirim kurir. Jendral Erinmore memilih Tom Blake karena kakak kandung Blake menjadi letnan di batalyon kedua itu. Ikatan emosional, kekhawatiran pada keselamatan kakaknya, tentu akan membuat Blake menjalankan misi itudengan sungguh-sungguh. Sedang sial menjadi nasib Schofield, ia terlibat misi itu hanya karena Blake diminta mengajak seorang teman. Dan Blake mengira, ia hanya diminta mengerjakan tugas sederhana atau mengambil makanan.

Misi pun dimulai. Dengan gambar indah namun getir dari parit pertahanan Inggris. Dataran luas yang penuh sisa-sisa pertempuran. Juga ucapan satire Letnan Leslie saat melepas keberangkatan mereka, sembari memercikkan alkohol seolah-olah air suci, “Through this holy unction, may the Lord pardon you, your faults, and whatever sins thou hast committed.”

Medan sunyi dan mencekam pun mulai mereka masuki. Sunyi dan mencekam ini mengingatkan saya pada film The Revenant. Hanya saja The Revenant bergulat dengan kisah bertahan hidup. Sedang 1917, seperti juga banyak film perang, mengisahkan tentang kepedihan, tentang betapa kejamnya perang. Kepedihan perang ini diungkapkan Schofield saat ia berkata benci pulang, "I hated going home. I hated it. When I knew I couldn’t stay. When I knew I had to leave, and they might never see me."

Tema lain adalah tanggung jawab dan ini sebenarnya membuat film ini mirip dengan Janji Joni. Sama-sama bercerita tentang kurir, caraka, tentang tugas ekspedisi. Keduanya juga menceritakan orang-orang yang bertanggung-jawab pada tugasnya, rela menerima segala resiko dari tanggung jawab itu. Hanya Janji Joni tak terasa mencekam, karena tentu saja bukan film perang. Bukan bercerita tentang urusan hidup mati dan pertaruhan nyawa.

Adegan berganti satu ke yang lain, dan tetap mencekam tanpa menjadikannya horor. Tidak juga menjadikan film ini sadis karena gelimpang darah. Bahkan indah. Mengeksplore keindahan padang rumput, bangunan tua, kota yang telah dibumihangus, pohon cherry, dan juga juga sungai berarus deras. Film berlatar perang bergambar seindah ini hanya saya rasakan pada Empire of The Sun. Saya sempat iseng terpikir, andai syuting film ini di Indonesia, semua lokasinya akan viral menjadi arena selfie. Termasuk saya pun ikut heboh ke sana. Karena semua Instagramable.

Dalam review tentang 1917, keindahan film ini dipuji karena memakai teknik one shot atau disebut juga continuous shot. Entah apa artinya itu, konon berkaitan tentang pengambilan dalam jangka waktu lama dengan satu kamera. Hingga gambar terfokus pada gerak pemeran utama. Sebagai awam, saya hanya teringat masa awal mewabahnya Pl*y Stati*n, saat saya memainkan permainan bergenre RPG seperti Tomb Raider. Mengikuti Lara Croft yang berjumpalitan ke sana ke mari, dan ini mengaduk-aduk emosi.

1917 juga selalu punya adegan menyentuh di tengah ketegangan. Bayi kecil yang kehilangan orang tua. Bertemu tentara Jerman mabuk. Ataupun syahdunya mendapati guguran pohon cherry yang menjadi penanda datangnya musim dingin, tepat saat Schofield mendengar sayup-sayup nyanyian puji-pujian, dan ternyata berasal resimen Devonshire yang sedang mengadakan kebaktian.

Namun dari semua hal yang menyentuh, yang paling mengesankan saya adalah apa yang menyebabkan Schofield sedikit pun tak mau mundur dari misi itu. Meski ia tahu betapa 'impossible' nya. Apakah ini karena nasionalisme? Atau kemanusiaan?

Saya kira ini tak semata nasionalisme. Sepanjang film Schofield menunjukkan kebaikan hatinya. Ia tak hendak menembak tentara Jerman yang memergokinya, ia pun selalu khawatir pada nyawa 1600 tentara di batalyon dua jika terlanjur bertempur dan masuk perangkap Jerman. Kekhawatiran yang membuatnya abai terhadap nyawanya sendiri. Schofield juga tak terlihat gegap gemputa akan kejayaan Inggris, ataupun kemenangan di garis depan. Ia hanya ingin, tak ada nyawa yang melayang.

Nasionalisme sering terasa menyekat. Belum lama ini saya membaca artikel yang mengulas betapa ucapan terkenal JFK: 'ask not what your country can do for you blablabla...' terasa berlebihan. Mengapa kita diminta berkorban melulu sementara negara tak pernah benar-benar memberikan tempat yang nyaman pada warganya. Membiarkan orang semena-mena atas nama kekuasaan ataupun mayoritas. Sekitar akhir 80an, di Intisari saya membaca ucapan Paul Wolfowitz yang mengkritik petuah terkenal JFK itu. Wolfie, yang saat itu Dubes AS untuk Indonesia, mengatakan Amerika tidak sedang berperang, mengapa terlalu menuntut rakyatnya berkorban? Pendapat khas Republikan, realistis dan tak terlalu idealis.

Tetapi dunia penuh paradoks, paska Tragedi 911, Wolfie justru menjadi arsitek Perang Teluk 2. Tak henti-henti mengobarkan semangat berkorban bagi negara demi menghadapi terorisme. Ia menjadi penuh jargon-jargon nasionalis. Di titik bahwa terorisme itu harus dibasmi saya setuju, tetapi mengapa harus dengan perang? Mengapa fokusnya pada pelanggaran kedaulatan Amerika, bukan pada kejahatan kemanysiaan yang menyebabkan orang-orang yang tak bersalah menjadi korban.

Entahlah, nasionalisme dan banyak ideologi lain, termasuk juga keyakinan dan agama, seringkali menyekat. Membuat kita ribut bahwa kita benar dan yang lain salah. Lalu kita berlomba-lomba membasmi apa yang kita anggap salah. Lahirlah pertikaian dan pertempuran baru. Kemanusiaan mungkin lebih bisa diterima umum, lebih universal. Menghargai hidup orang lain dan hak-haknya.

Schofield dengan kemanusiaannya yang besar berhasil menghentikan pertempuran. Sedang di sini dari hari ke hari kita terlalu sibuk dengan perdebatan antara para sekuler yang biasanya nasionalis dan para agamis yang seringkali transnasiolis, dengan cara-cara yang sangat tak humanis. Haruskah negeri kita jadi medan pertempuran baru?

Komentar